Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah Badut

10 Januari 2025   02:28 Diperbarui: 10 Januari 2025   02:28 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami belajar bersama di dalam bangunan sederhana yang tidak besar bentuknya yang sehari-hari digunakan sebagai tempat ibadah bagi para penghuni kolong jembatan. Satu-satunya bangunan semi permanen yang terlihat rapi dan terawat di tempat kumuh ini. Ada kurang lebih dua puluh anak-anak yang belajar dari berbagai klasifikasi umur dengan lima orang staff pengajar. Dan selama kami belajar di sini kami menyebut bangunan ini sebagai kelas. 

Waktu belajar mengajar dari jam 8 pagi hingga jam 12 siang dengan waktu istirahat setengah jam tepat jam 10 siang. Mereka mengajarkan sesuai dengan kurikulum yang mereka buat meski tetap mengacu dengan kurikulum pendidikan formal yang ada di sekolah. Dan yang membuat kami begitu senang belajar di sini ialah staff pengajarnya yang baik dan sabar. Mereka juga mengajarkan kami untuk berani tampil di depan anak-anak yang lainnya seperti membaca puisi dari para penyair terkenal atau bercerita tentang kegiatan kesehari-harian.

"Coba giliran Siti yang maju ke depan dan bercerita". Aku terkejut saat namaku disebut dan diminta untuk bercerita di depan kelas oleh kakak Wid. Meski ini yang sudah ke dua kalinya aku maju ke depan tetap saja aku ragu-ragu. Aku tidak percaya diri tidak seperti kawan-kawanku yang lainnya yang terlihat senang dan gembira saat mereka bisa tampil di depan. Tetapi aku mencoba melawan keragu-raguan itu. Bukan lantaran karena hadiah yang akan didapatkan untuk mereka yang tampil berani di depan. Tetapi ini sebuah ketakutan yang harus dilawan. Kata emak hidup itu tidak boleh takut atau ragu. Jalani saja dan hadapi segalanya dengan tenang. Tetapi belum juga aku berdiri dari tempat dudukku tiba-tiba salah satu anak dalam ruangan yang ada dalam ruangan tersebut berkata dengan lantang. 

"Siti anak pungut bu. Siti tidak punya ayah dan ibu. Ia ditemukan dalam kardus di pinggir kali saat masih bayi". Seketika aku menoleh ke belakang ke arah suara menyebalkan itu datang. Seketika hal tersebut membuat telingaku panas dan tubuhku gemetar. Lama aku tatap wajah lelaki kurus dekil itu dengan kesal. Ia membalas tatapanku seakan mencoba melawan. Dalam hatiku berkata aku tak boleh takut kepadanya.

"Hus, tidak boleh berbicara seperti itu kepada teman sendiri. Di sini tidak ada yang boleh saling membuly. Menghina. Mengejek satu sama lain. Kakak-kakak datang ke sini untuk mengajar kalian tentang hal yang baik-baik bukan mendengar perkataan kalian tentang pribadi seseorang. Tidak dibenarkan kalian saling menghina". Kakak Wid tak mau kalah pula ia pun berkata lantang di depan seluruh kelas demi memperingatkan anak-anak yang lainnya agar bisa menghormati dan menghargai teman-teman sekelas.

"Ayo Siti mari maju ke depan. Ceritakan hal apa yang membuat Siti senang atau adakah pelajaran yang paling Siti senangi hingga Siti mahir dalam pelajaran itu atau barangkali ada kakak kelas di sini yang Siti kagumi". Kembali kakak Wid berbicara sambil memintaku kembali untuk segera maju ke depan kelas. Sementara yang lainnya terdiam dan termangu menungguku untuk maju. Saking heningnya kelas saat itu bahkan detik jarum jam terdengar samar-samar dari sudut ruangan. 

"Ayo sini. Jangan takut. Kita semua di sini adalah teman. Keluarga". Dengan suaranya yang lembut kakak Wid mengulangi permohonannya lagi kepadaku. Aku beranikan diri untuk berjalan ke depan ruangan yang entah mengapa seakan-akan aku hendak diinterogasi ditanyakan segala asal usul diriku dari mana. Seakan ada beban yang menggelayut di punggungku. Seperti ada yang memberatkan langkah kakiku. Sampai akhirnya seorang perempuan cantik berkerudung menuntunku maju ke depan. Dialah kakak Widya atau yang akrab kami panggil kakak Wid.

"Namaku Siti. Usiaku saat ini tujuh tahun. Aku tinggal bersama bapak di kampung pemulung di gubuk rongsok di dekat perlintasan rel kereta api yang tak jauh dari tempat ini. Sesuatu hal yang membuatku senang sudah meninggal. Seseorang yang kepadaku selalu bercerita tentang masa kanak-kanaknya dulu sebelum aku pergi tidur. Namun saat ini emak sudah tiada hanya bapak saja yang ada di rumah tetapi bapak jarang berbicara dan ia juga tak pernah bercerita apa-apa kepadaku. Meski begitu bapak yang membawa aku pertama kali ke tempat sekolah ini. Dan satu hal lagi, bila ada kesempatan aku ingin sekali dapat berkunjung ke rumah badut."

Sontak ruangan yang tadinya hening menyimak kisah hidupku seketika pecah gemuruh oleh tawa anak-anak. Seperti petasan tahun baru yang meledak di langit. Berhamburan. Memercik api dalam hati. Bahkan dua orang staff pengajar ikut pula tertawa meski tidak seheboh anak-anak. Hanya kakak Wid dan badut yang berdiri di belakang kelas tersenyum mendengar pernyataan terakhirku.

"Sssttt diam. Diam. Tenang dulu yang lainnya. Mari kita dengarkan alasan Siti kenapa ia mau datang ke rumah badut. Ada apa di rumah badut. Adakah hal yang menyenangkan bagi Siti di rumah badut tersebut."

Tak berapa lama aku berdiri terdiam di depan kelas setelah kakak Wid kembali berbicara. Tak terasa air mataku mengalir di pipi. Aku menoleh ke samping dan ku lihat pintu kelas terbuka. Aku rasa ini waktunya. Tanpa berkata-kata. Aku berlari berlari ke luar ruangan. Berlari terus dan berlari tanpa menoleh ke belakang. Meninggalkan kelas yang belum selesai waktu jam pulang. Aku terus berlari hingga tak sadar sampai di sebuah pemakaman di mana emak terbaring damai. Ku jatuhkan diriku di atas kuburannya. Aku menangis dan air mataku membasahi tanahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun