Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kasih Ibu

26 Desember 2024   03:33 Diperbarui: 26 Desember 2024   03:33 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ibuku seorang penjahit dari ketrampilan itulah ia menghidupi kami sekeluarga setelah ayah tiada. Pelanggannya meski tak banyak tetapi ada saja yang ingin menjahit pakaian dengan ibuku.

Ada yang bilang jahitan pakaian ibuku rapi, mode baju jaman sekarang pun tak ketinggalan ia kuasai dan yang pasti ongkosnya lebih murah dari ongkos butik. 

Aku tak pernah dengar soal ucapan puas para pelanggan ibuku namun aku pernah melihat ibuku dimarahi oleh seorang wanita paruh baya sebab jahitan baju ibuku tak sesuai dengan yang diinginkannya.

Setelah wanita itu selesai dengan emosinya ia segera keluar dari rumah kami. Diam-diam aku menghampiri ibu yang terdiam lesu. Aku memeluknya dari belakang.

Sebab kehadiranku itu ibu yang tadi lesu lalu tersenyum kepadaku. Disembunyikannya gundah hatinya seperti ia menyembunyikan letih dan kantuknya setiap kali bekerja.

Dengan lembut ia pun berkata "Panggil adik-adikmu nak mari kita makan sebelum larut malam".

Kini setelah rambutnya semua memutih dan tubuhnya mulai ringkih hampir setiap malam aku mendengar ia menangis dalam sujudnya. Suatu hari aku bertanya kenapa ibu selalu menangis dalam sujud. 

Dengan lembut ia berkata "Telah aku pantaskan baju bagi anak-anakku agar mereka dipandang, agar mereka dihargai sebagai orang namun baju untukku sendiri selalu luput. Tak pernah aku pikirkan. Pakaian yang pantas untukku belum sempat aku menjahitnya. Sungguh, aku begitu khilaf. Entah apakah Tuhan mau menerima kehadiranku kelak?"

Tak mampu aku berkata-kata selain menitikkan air mata. Wajahku lesu. Kepalaku tertunduk. Aku malu. 

Tak lama setelah itu samar ku lihat separuh bayangan dengan sayap membentang tegak berjalan mengikuti ibu dari belakang saat ia hendak sembahyang. Badanku gemetar. Jantungku berdebar kencang.

Handy Pranowo.

Srengseng, 26-12-2024.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun