Aku membayangkan dirimu ditengah lautan saat gelap menyelimuti dan angin mengobrak-abrik haluan.Â
Bintang-bintang muram tak menunjukkan jalan untuk perahu kayu yang penuh muatan.
Masih menyala api di dalam dadamu sedikit redup memang sebab samudera yang luas telah menelannya sebagian.
Barangkali juga nyala api puluhan orang yang berlayar bersamamu dengan kerongkongan yang gatal dan perut kelaparan.
Sementara daratan masih jauh, tanah kelahiran tertinggal di belakang.
Mimpi-mimpi di atas kepala dihantam ombak. Harapan dan penantian seperti taruhan hidup yang susah ditebak.
Dilahirkan di negeri yang penuh konflik tanpa masa depan sama halnya kebimbangan tanpa harapan menuntun jalannya kematian.Â
Tidakkah hal tersebut menyesakkan. Sementara doa-doa mengalir menjadi air mata kepedihan.
Dan keringat adalah darah kering yang mengental. Di lambung. Di jantung. Di hati yang dirundung murung.
Oleng. Ombak pula terlalu besar. Perahu kayu gemetar tak kuat menahan beban.Â
Maka karang-karang didasar lautan menunggu kabar kesedihan.Â
Ikan-ikan menunggu santapan dari para pejihad yang tak mempunyai akal.Â
Bukankah mati konyol adalah jalan kesesatan.
Namun pilihan hanya ada satu. Mengungsi atau mati sia-sia di negeri sendiri.
Sambil kau peluk dirimu yang kedinginan dari badai malam yang terus-terusan menghantam.
Sementara yang lainnya juga seperti yang kau lakukan. Memeluk sambil menangis bahwa kematian sebentar lagi pasti datang.
Pelan-pelang perahu lenyap ditelan gelombang. Camar-camar lalu bermunculan bagai kabut di percikan badai.
Di paruhnya membawa ribuan kembang dari daratan yang penuh pemberontakkan.
Ketika air asin memenuhi perut dan tangan-tangan menggapai permukaan.
Seketika kamu rasakan beban deritamu sedikit ringan bagai tarian masa kecil saat hujan datang.
Tak disangka kamu bertemu seluruh keluargamu disebuah pesta jamuan makan malam.
Mereka saling diam tanpa senyum seperti ada sesuatu yang disembunyikan di meja makan.
Lalu seorang perempuan tua berdiri dan berkata. Matanya menatap lesu. Tangannya mengharap peluk.
"Selamat datang anakku. Selamat atas kelahiranmu kembali bersama kepulan debu".
Handy Pranowo
17-10-2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H