Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Jamaah Terakhir

23 Mei 2024   23:22 Diperbarui: 23 Mei 2024   23:25 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ayahnya yang supir angkot mati karena covid. Setahun kemudian ibunya jatuh sakit terdiagnosa kanker di payudaranya.

Dan sampai umurnya menanjak 10 tahun ia masih terbata-bata berbicara.

Meskipun begitu ia tak pernah ragu atau malu bila bermain-main dengan teman-teman sebayanya.

Banyak yang bilang ia sedikit terbelakang susah melaju ke depan. 

Itu artinya masa depan yang kelabu atau samar-samar.

Selama orang tuanya tak ada kakeknya yang mengurusi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Latif selalu diajak ke masjid, diajar sholat, diajar mengaji. Setiap hari tak lepas baju koko serta peci haji.

Tak pernah lepas pula dari genggaman tangan lelaki yang dikenal sebagai marbot yang jujur, yang bersih.

Latif begitu senang. Begitu gembira. Meskipun ia sering diganggu dan dicemooh anak-anak sebayanya.

Latif tetap tersenyum dan ia tak perduli soal itu.

Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama tak sampai ia menanjak remaja.

Kakeknya yang paling sayang terhadap dirinya harus pergi juga untuk selamanya akibat serangan jantung. 

Lelaki yang puluhan tahun mengurusi masjid itu jatuh saat membersihkan teras masjid sehabis subuh. 

Tidak lama setelah itu Latif sering merenung sendiri. Sering melamun. Jarang tersenyum. Kadang-kadang ia menangis sedih.

Dari dulu ia memang tak betah di rumah lebih sering berada di masjid namun semenjak kakeknya meninggal ia bimbang.

Kini hampir setiap hari ia kelihatan di parkiran mini market pinggir jalan dan tak jelas apa yang ia lakukan.

Sementara ibunya tak bisa berbuat banyak terhadap anak semata wayangnya. 

Kankernya terus menggerogoti hingga ke tulang belakang.

Sementara itu. Latif yang tubuhnya kurus, kepalanya besar. Mulai berani mengatakan "terus,terus om, op".

Dan ia semakin paham apa yang ia tengah kerjakan.

Bila ada sisa uang hasil parkir ia berikan kepada ibunya.

Ibunya hanya menangis. Terus menangis. Lalu perempuan kurus itu berkata. 

"Kenapa Latif tidak pergi ke masjid lagi".

"Di masjid tidak ada siapa-siapa bu. Sejak kakek meninggal masjid kian sepi, adzan pun jarang terdengar".

"Tetapi Latif jangan sering ke parkiran. Bahaya".

"Tidak bu. Bila di parkiran Latif diberi makan juga dikasih ongkos buat jajan".

Ibunya tak bisa lagi berbicara. Tak dapat pula melarangnya. Ia hanya bisa pasrah dan menangis saja.

Tetapi ternyata Tuhan lebih cermat dan teliti atas apa yang diperbuat. Bukan Tuhan namanya bila tak maha menentukan.

Latif tumbuh sebagai sosok lelaki yang tegar. Di hadapi kematian ibunya tanpa tangisan.

Handy Pranowo.

23-Mei-2024

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun