"Tahan-tahan, jangan anarkis, jangan anarkis".
"Robohkan saja kantornya, bakar".
Tak lama setelah kejadian provokasi tersebut satu mobil patroli polisi datang ke lokasi kejadian. Ada sekitar delapan orang anggota polisi berseragam dan tiga anggota lainnya memakai pakaian preman. Untung saja polisi cepat datang. Warga yang terpancing emosi kembali di tenangkan. Namun geruduk protes sore itu tak membuahkan hasil yang baik untuk warga setempat. Pengembang tetap melaksanakan sesuai dengan yang sudah di gambarkan.
Mereka berdalih aliran kali berdiri di atas tanah rawa yang sudah di beli dan telah mendapat persetujuan dari dinas daerah setempat untuk menutupnya dengan syarat membuat jalur aliran air yang baru.
Setelah hampir satu jam pertemuan di dalam kantor tersebut mbah Pardi keluar dengan raut wajah kecewa. Seperti wajah prajurit yang di paksa menyerah. Beberapa spanduk putih ukuran sedang terpasang di beberapa tempat area perumahan. Bertuliskan "Yang kaya jangan serakah". "Rawa tempat penampungan air jangan di jadikan rumah".
Aku yang saat itu menyaksikan demo tersebut bersama almarhum ayah tak juga banyak tahu selain dulu rawa itu tempatku mencari belut dan ikan gabus. Rawa yang penuh dengan tanaman eceng gondok itu telah di tutup dan segera di bangun perumahan mewah di sana.
Setelah keadaan sedikit tenang dan emosi warga mereda ayah mengajakku pulang. Tidak ada lagi kesepakatan. Tidak ada yang bisa berubah. Seluruh warga yang datang sore itu pun satu-persatu kembali pulang dengan perasaan gelisah. Gelisah bahwa tempat tinggalnya akan sering dilanda bencana. Banjir.
Sepanjang jalan ayah hanya diam saja. Wajahnya seakan memendam marah. Beberapa pertanyaan yang aku lontarkan kepadanya tak ada satupun yang di jawab. Pertanyaan yang mungkin juga tak penting kenapa mesti rawa tempatku bermain mesti di jadikan perumahan.
"Bagaimana pertemuannya tadi sore mas" tanya ibu dengan raut wajah sedikit cemas.
"Pakde Pardi di bawa ke kantor polisi bersama pak RT". jawab ayah lemas.
"Terus..." ibu kembali bertanya. Raut wajahnya semakin cemas.