"Ada ember lagi mbah".
"Ambil di belakang sana, mas". Pelan-pelan aku berjalan ke arah dapur. Lurus saja. Searah dari pintu utama.
"Lobang wc dan saluran pembungan air sudah di tutup mbah".
"Sudah semua".
"Lah, air ini datang dari mana mbah".
"Rembes dari lantai ubin".
Musim hujan tahun ini memang aneh tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. El Nino katanya. Hampir di seluruh dunia mengalami perubahan cuaca yang ekstrim. Tetapi mau ekstrim kek, es krim kek. Berpuluh-puluh tahun lamanya pemukiman ini sudah menjadi langganan banjir kok. Sebenarnya kami yang tinggal sudah pasrah dan menerima saja. Dan memang seharusnya begitu buat orang-orang kelas bawah.
"Mbah, istirahat dulu sana." sahutku setelah melihat dirinya nampak letih setelah hampir setengah jam menguras air dari dalam rumahnya. Nafasnya sesekali tersenggal. Butir-butir keringat bagai biji-biji anggur mengalir dari keningnya yang berkerut. Wajahnya sedikit pucat. Beruntung tempat tidurnya masih aman tidak sampai terendam bisa untuk mbah Pardi rebahan sejenak.
Sedikit demi sedikit air di jalan mulai surut. Bocah-bocah kecil yang tadi berenang sudah tidak nampak lagi. Satu-persatu warga mulai berani keluar rumah untuk beraktifitas kembali. Sisa banjir tadi meninggalkan endapan lumpur, pejalan kaki mesti hati-hati. Tetangga depan rumah langsung sigap beraksi memungut sampah-sampah plastik yang menutupi saluran air.
Hujan telah sepenuhnya reda. Awan mendung menjauh perlahan bagai membuka langit yang baru lebih cerah. Dari dalam rumah mbah Pardi mengayun lembut aroma kopi yang baru saja di seduh. Tak berselang lama mbah Pardi keluar membawa dua cangkir kopi panas.
"Waduh mbah, pakai repot-repot segala".