Kucing hitam itu datang setiap tengah malam.
Duduk di sisi jalan sepi dan lengang.Â
Tidak mengeong sebab mulutnya di bungkam.
Mata kanannya buta, kakinya pincang.
Bau badannya amis seperti bangkai ikan di comberan tercium hingga depan jendela rumahmu yang kusam.
Terbawa ke dalam mimpimu. Bukankah akhir-akhir ini kehidupan terus mencekam membuatmu terus mengigau.
Kucing hitam itu pernah mengetuk pintu rumahmu. Di tendangnya ia di singkirkan meluluÂ
sebab bagai pengemis bagai rakyat papa tak tahu malu.
Kucing hitam membelah malam. Membelah ujung-ujung kabut di persimpangan.
Baliho-baliho demokrasi mencibir, foto-foto calon legislatif tersenyum sinis menatap jalannya yang pincang.
Kucing hitam kucing manis mencari tempat tidur sampailah ia di bawah meja para penjudi di lingkarkan tubuhnya melepas lelah sebab di pelataran rumah ibadah ia di usir. Najis kilah seseorang yang katanya beragama.