Mereka yang melihatku melayang serupa layang setelah malam meninggi kerap kali berkata sial dangkalan.
Padahal telah mereka tebang rumah singgahku pohon beringin yang lahir dan besar di tengah kuburan.Â
Tempat para lelaki sinting mengadu untung menebar saji dan kemenyan. Demi mabuk dan selangkangan perempuan.
Sebetulnya aku tak hendak menggangu dengan tertawa melengking seperti yang pernah di dengar oleh lelaki peronda saat mengetuk tiang listrik di jam satu dini hari.
Hanya saja saat kerongkonganku terjerat tali di pokok halaman belakang dan menggantung meninggi.Â
Sepasang gagak menatapku dengan sedih lalu mengajariku bernyanyi. Nyanyian penghilang nyeri dan lara hati. Sebab di khianati kekasih.
Sejak hari sial itu setiap orang bergunjing di setiap sudut gang, di teras rumah. Bulu kuduk mereka bergidik gelisah. Di kala malam datang pintu dan jendela rumah tertutup lebih awal.
Itu perempuan arwahnya penasaran menggantung tak tenang menunggu di maafkan kata seorang lelaki tua berjanggut panjang berkopiah hitam.
Handy Pranowo
03-September-2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H