Aku telah lama duduk di sini. Di bangku taman sudut kota tempat biasa kita menamatkan cerita.
Sambil menunggu sepi menggugurkan keheningannya menjadi puisi. Dan engkau terbiasa menggenggam jariku yang terluka.
Harum tubuhmu. Lekuk bibirmu. Bagai gubuk-gubuk mimpi di dalam tidurku yang tak lagi bisa ku sentuh.
Sementara bulan muncul diam-diam dari ujung rambutmu yang jatuh di bahu.
Dan akhirnya kita harus berpisah. Melambaikan kedua tangan yang sama-sama lelah memeluk cinta.
Matamu menyembunyikan sesuatu yang dulu aku sebut rindu. Dadaku bergetar melepas seluruh kecup yang pernah jatuh dari bibirmu.
Sendiri dulu katamu. Bukankah kita di takdirkan begitu. Sendiri di jalan menuju persimpangan yang jauh tertempuh.
Biarlah sementara waktu hujan menjadi teman kesepian bersama lampu-lampu taman yang redup di rerimbunan kesunyian.
Kita ditakdirkan menjadi petualang. Mengembara dan mengembara menuju keabadian.
Bukankah kita datang tanpa memiliki apa-apa.Â
Dan aku masih sering duduk di sini. Menyendiri dan menepi.
Di taman tempat biasa kau menggenggam jariku yang terluka.
Handy Pranowo
22 Maret 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H