Seringkali aku melihat hujan dan senja di cangkir kopimu yang tak pernah habis kau minum.
Entah sengaja atau tidak. Kau lebih memilih diam termangu. Membiarkan kopimu dingin di sergap hujan.
Dan senja barangkali lebih kental dan pahit. Kau seruput dengan sekali tegukan. Hatimu tenggelam di cangkir bening.
Merenangi kepedihan yang lebih pahit dari kopi yang kau pesan.
Untuk kesekian kalinya. Aku dapati air matamu menjadi ampas kopi yang sulit kamu hapus dengan sapu tangan.
Kepadaku engkau selalu bercerita. Cafe kecil di ujung jalan tempat pertama kali kamu memesan kopi.Â
Bersama teman lelaki pertama yang mengajarimu bercinta. Lambungmu gemetar. Jantungmu berdebar.
Hatimu di aduk-aduk. Sama seperti kopi di cangkirmu yang tak pernah habis kau minum.Â
Harapan yang kau rindukan pun tersisa. Sia-sia.
Diam-diam ia pergi meninggalkanmu. Menyisakan kopinya yang dingin bersama hujan dan senja.
Hingga kini kamu masih menunggu. Sementara lelaki itu dengan sabar mendengarkanmu bercerita.
Di cangkir kopinya penuh air mata.
Handy Pranowo
23-Oktober 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H