Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Adikku dan si Bubu

23 Juli 2022   23:15 Diperbarui: 23 Juli 2022   23:31 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari Rabu malam, ketika aku tengah menikmati secangkir kopi bersama teman karibku sambil membicarakan politik negeri ini dan segala leluconnya tiba-tiba ponselku berbunyi, dering whatsap rupanya. 

Nama adikku yang paling kecil muncul di layar sentuh tak lama setelah ku seruput lagi kopi hitam buatan ibu temanku, ku buka pesan tersebut.

"Handy di mana, cepat pulang, kasihan Arif?

Saat itu aku tidak langsung bergegas pulang melainkan bercerita sedikit kepada temanku perihal sakit yang beberapa minggu ini menimpa adikku yang nomor dua. Sebatang rokok kretek yang belum habis ku tekan ke dalam asbak dan aku pamit pulang. 

Aku tak punya perasaan macam-macam saat melangkahkan kaki keluar dari pagar rumahnya hanya saja ku tahu penyakit lambung adikku sudah mulai kronis dan ia enggan sama sekali di bawa ke dokter. Meski dokter 24 jam sekalipun.

Begitu mendekat dari gerbang pagar rumah, aku mendengar jerit tangis ibu seketika aku lari masuk ke dalam dan langsung menuju ke lantai dua, ke kamar ibu. 

Ku dapati ibu di kamar tengah menangis sambil meminta diriku untuk membangunkan adikku yang tergeletak lemas tak berdaya di pangkuannya. Ke dua matanya menutup, telapak kaki dan tangannya dingin. Bibirnya biru mengatup.

Adikku yang paling kecil hanya berdiri di depan pintu kamar, wajahnya nampak bingung melihat kakaknya tak bisa di bangunkan matanya ku lihat nanar dan sembab. 

Pamanku yang kebetulan sudah setahun ini ikut tinggal di rumah menyuruh aku membantunya mengangkat tubuh adikku yang tergeletak lemas dan ia berkata. "Ayo cepat kita ke rumah sakit".

Aku benar-benar tak tahu apa yang terjadi, ibuku terus menangis dan istighfar. Aku mencoba menguatkan diri, ku angkat tubuh adikku bersama pamanku dan membawanya keluar rumah. Taksi online kami pesan.

********

Aku sungguh kesal dengan adikku yang nomor dua, lantaran ia membawa seekor kucing kecil berwarna abu-abu ke dalam rumah. Kucing kecil yang barangkali baru umur sebulan atau dua bulan itu di tempatkan di dalam kardus bekas sepatu lalu di taruh di pojok ruangan yang kami sebut perpustakaan. 

Keluarga kami memang suka kucing dan di rumah ibu sudah ada dua kucing kampung yang di pelihara. Saat adikku membawa kucing malang tersebut ke rumah ibu menyuruhnya untuk di berikan saja kepada tetangga kami yang kebetulan juga suka memelihara kucing. 

Tapi adikku enggan menuruti kemauan ibu. Ia katakan bahwa kucing itu akan menjadi temannya, ia akan merawatnya sampai besar. Sampai mati.

Tetapi aku tahu benar siapa adikku, dia tidak pernah bisa merawat kucing atau hewan yang lainnya. Bukan hobinya. Ia hanya senang mengelus-ngelus dan bermain-mainnya saja. Mana mau dia memberi makan, memandikan kucing atau membersihkan pasir tempat buang hajatnya. 

Aku tahu, ia sudah terlalu sibuk dengan urusan kerjaannya. Apalagi semenjak peluncuran buku pertamanya cara praktis belajar bahasa Jepang ia semakin giat untuk menulis kembali buku lanjutannya.

Kepada semua orang yang ada di rumah ia ceritakan perihal pertama kali ia temukan kucing tersebut. Di dalam selokan kering di depan ruko yang ia sewa tempat ia mengajar bahasa Jepang bersama tiga teman kuliahnya. Kucing itu kelaparan dan terus merengek memohon bantuan. 

Setiap kali pulang dari tempat mengajar bahasa Jepang ia perlihatkan anak kucing tersebut lewat video call kepada anak dan istrinya yang tinggal di Cirebon. Sudah pasti pertemuan mereka pertama kali di ceritakan bagai serial drama tanpa adegan akhir.

Terlihat bahagianya kedua mahkhluk tersebut lewat sambungan video call. Saling bercerita, saling bercanda seperti perayaan kelahiran anggota keluarga baru. Kaki depan binatang kesayangan nabi itu berusaha menggapai-gapai ponsel sentuh adikku. 

Tidur pun selalu di bawa ke kamarnya. Di sematkan kalung berwarna biru di leher hewan peliharaannya. Di beli sekarung makanan kucing untuk stok persediaan di rumah. Di beri nama kucing itu, si Bubu. Bubu kini temannya di rumah. Adikku sering berbicara dengannya bahkan tak jarang menggunakan bahasa Jepang. 

Tapi setelah dua bulan kucing itu ada di rumah. Aku sudah tidak tahan, setiap mampir ke rumah ibu selalu ku dapati kotoran kucing kecil itu di pojok ruangan. Aku tahu kucing itu sedang lucu-lucunya bergerak ke sana ke mari, berlari-lari, senang bermain dengan tali.

Ibu tahu kekesalanku namun ia tidak tega juga membuang anak kucing tersebut. Dan untuk memelihara satu kucing lagi rasanya sudah terlalu banyak, rumah ini terlalu sempit. Rumah kecil ini bukan tempat penampungan kucing liar.

Lagian ongkos pemeliharaannya nanti akan banyak, merepotkan. Keluargaku bukan keluarga berkecukupan apalagi di tambah memberi makan tiga ekor kucing. 

Ku bangunkan adikku yang tengah tertidur siang kala itu. Menyuruhnya membersihkan kotoran kucing kesayangannya. Saat ia membalikkan badan ke arahku, aku bilang kepadanya "Kalau tidak bisa mengurus berak dan kencingnya biar nanti kucing itu ku buang ke pasar".

Bukannya bergegas bangun malah ia tertidur kembali, seakan mengejek gertakkanku. Semakin aku kesal. Kucing itu pun aku buang. Aku jahat. Sungguh, aku jahat. Kepada mereka. Kepada adikku dan juga kucing yang tak berdosa itu.

******

Sudah tidak ada lagi kucing abu-abu di rumah dan betul saja adikku tidak pernah mencarinya atau memang sudah tidak perduli. Tetapi aku tahu ia kesal dengan kakaknya. Ia tahu kakaknya yang telah membuang kucing kesayangannya. Siapa lagi pikirnya.

Seminggu ia tak mau bicara denganku. Hingga tak berapa lama dari kejadian kucing kesayangannya di buang, adikku jatuh sakit. Sakitnya kali ini bukan main-main. Ini adalah penyakit yang sebelumnya pernah di deritanya.

Tubuhnya tak lagi kelihatan segar seperti dulu. Penyakit lambungnya semakin kronis. Katanya perutnya terlalu sakit, dadanya sesak. Namun ia tetap tak mau ke dokter apalagi rumah sakit. Ia hanya mau meminum rebusan air kunyit di tambah madu buatan ibu.

Ibuku menyarankan kepadanya untuk berhenti merokok dan berhenti minum kopi. Itu satu-satunya cara terbaik untuk mencegah penyakitnya semakin parah. Di tengah kelesuan tubuhnya, ia turuti semua perintahnya.

Namun untuk membujuknya ke dokter semua sudah menyerah, terserah. Terakhir kali saat ia di haruskan menginap di rumah sakit untuk di rawat. Adikku malah memberontak katanya ia hanya ingin pulang dan di rawat di rumah.

Suatu hari saat ibu menyiapkan makanan serta rebusan kunyit dengan madu untuk adikku. Ia bilang ingin mencari kucingnya yang di buang. Pesan itu pun akhirnya sampai kepadaku karena tak mungkin adikku mencari sendiri dengan kondisi tubuhnya yang sudah tidak fit. 

Ibu menyarankan kepadaku agar bila ada waktu cobalah lewat jalan pasar ke tempat aku buang kucing kecil tersebut barangkali kalau masih hidup bawalah kucing itu pulang ke rumah.

Maka setiap mampir ke rumah ibu mesti ku lewati jalan pasar tersebut di mana pernah ku tinggalkan kucing malang itu di sana. Ku perhatikan setiap sudut dan lorong pasar. Sekali hingga dua kali ku sempatkan berkeliling di bagian pasar sebelah barat dekat stasiun kereta api.

Tak sampai seminggu pencarianku berhasil. Kucing abu-abu itu ku temukan meringkuk di sudut warung ikan tongkol langganan ibu. Ia tengah tertidur di antara tumpukkan keranjang-keranjang bambu tempat menaruh ikan. Hampir saja aku tak mengenalinya. Samar. Tubuhnya tak lagi gemuk, kurus, kotor. Hampir sebulan lamanya terbuang. 

Dari kalung yang tersemat di leher kucing itu dapat ku kenali kalau itu kucing kesayangan adikku. Kucing yang ia temukan dulu di dalam selokan di depan ruko tempatnya mengajar bahasa Jepang.

Kucing yang telah di dapuknya sebagai teman hidupnya di kala sendiri jauh dari keluarga. Tentang kembalinya si Bubu ke rumah ternyata di tanggapi dingin oleh adikku. 

Ia melihat kucingnya yang dulu lucu, gemuk kini kurus dan kotor. Hampir saja ia tak mengenalinya namun kalung pemberiannya dulu masih melingkar di leher. Kami segera memandikan Bubu dengan air hangat dan memberinya makan.

Besoknya kucing tersebut aku bawa ke dokter hewan langganan untuk di periksa kesehatannya. Matanya berair begitu pula hidungnya. Tapi hanya seminggu umur kucing itu di rumah setelah di temukannya kembali.

Kucing betina itu mati di tempatnya biasa tidur.

***********

Seperti biasa, siang menjelang zuhur aku selalu menyempatkan datang ke rumah ibu, makan siang dan sholat di sana sekalian menunggu orderan penumpang. 

Kali ini aku membawa pisang raja bulu dan puding coklat yang ku beli di toko roti. Sampainya di dalam rumah ku tanyakan kabar adikku kepada ibu katanya ia sudah mau makan banyak dan tadi pagi juga sempat mengajar online mungkin sekarang ia ada di kamar sedang tidur. 

Aku naik ke lantai dua ke kamar ibu, pintu kamar terbuka, kipas angin menyala. Ciri khas adikku yang selalu tidur dengan hembusan kipas angin. Dari dulu dan selalu begitu.

Cahaya matahari siang menembus lewat kaca jendela samping kamar menyinari wajah adikku yang tertidur lelap. Namun ada sesuatu yang ganjil ku lihat di sana. 

Kenapa wajah adikku mirip sekali dengan wajah almarhum ayah. Mirip bahkan yang ku lihat di sana adalah wajah ayah yang tengah tertidur. 

Ku usap ke dua mataku, mungkin aku salah melihat. Sebab sering seperti itu bila mata habis dari tempat yang terang karena cahaya matahari kemudian masuk ke dalam rumah atau ruangan yang gelap maka penglihatan sedikit berbayang atau kabur. 

Aku berpikir mungkin aku tengah mengalami hal tersebut. Adaptasi mata terhadap cahaya. Namun kembali ku perhatikan wajah yang tenang tertidur saat itu. Belum berubah, masih wajah ayahku. 

*********

Malam itu ku perintahkan supir taksi online melaju kencang dan menyalakan lampu hazard. Pukul setengah sebelas malam. Aku tak ingat apa-apa lagi selain membawa adikku ke rumah sakit. Ibu dan adik bungsu duduk di bangku belakang mereka terus menangis. Sesekali terdengar ibu istighfar dan membaca doa.

Adikku tidak bisa di bangunkan dengan cara apapun. Tujuan kami rumah sakit Pusat Pertamina di jalan Kyai Maja, Kebayoran Baru. Pamanku di belakang dengan sepeda motor menyusul. 

Sesampainya di rumah sakit setelah keluar dari taksi online seorang satpam dan petugas rawat jaga langsung bertindak cepat, adikku di bawa langsung ke tindakan gawat darurat. Tak lama seorang dokter laki-laki masuk ke dalam ruangan memeriksa kondisi pasien yang tergeletak tak berdaya.

Dokter langsung memeriksa dan katanya "Denyut nadi di tangan dan lehernya tidak lagi berdetak, pupil matanya tak merespon cahaya, sepertinya saat di bawa ke sini pasien sudah dalam keadaan meninggal".

Aku tidak menangis, aku yakin adikku masih hidup. Ibu dan adik kecilku tidak ikut ke dalam mereka menunggu di lobby kecuali paman yang menemaniku di sana. 

"Tolong dok, usahakan sedikit, apapun itu caranya".

"Baiklah".

Alat kejut jantung di siapkan lalu berkali-kali di tempelkan ke dada adikku. Monitor di samping terus ku pantau grafiknya. Dokter dan perawat nampak berusaha agar adikku kembali bernafas. Mungkin. 

Tapi Tuhan nyatanya lebih dulu membawa adikku berjalan, berkeliling di atas langit. Memperlihatkan kekuasaannya, kerajaannya. Langit dan bumi.

"Pak, adik bapak sudah meninggal dan kami sudah sesuai melakukan prosedur tindakan. Kami telah berusaha maksimal".

"Sabar ya pak , ikhlaskan saja".

Dokter berjalan keluar ruangan, ku pendam tangisku dalam-dalam. Air mata terus mengalir. Tubuhku lunglai di depan jenazah adikku. Kaku membisu. Aku tak punya lagi tenaga. Berat rasanya menggerakkan kaki ini keluar meninggalkan adikku sendirian. 

"Maafkan aku".

**********

Jam setengah dua belas malam, hari Rabu. Ku ikuti semua prosedur rumah sakit untuk membawa jenazah adikku pulang. Aku sendiri yang nanti di dalam ambulance bersamanya. Saat duduk menunggu surat kematian keluar di bagian pusat pemulasaran jenazah.

Seekor kucing kecil tiba-tiba muncul di hadapanku. Tubuhnya kurus, kakinya gemetar. Warna bulunya abu-abu. Sambil jongkok di depannya aku usap berkali-kali kepala kucing kecil tersebut sampai seorang petugas ambulance memanggilku untuk masuk ke dalam ruangan. 

Setelah selesai mengurus berkas-berkas dan pembayaran sewa ambulance. Aku pun bergegas keluar tetapi tak lagi ku lihat kucing kecil tersebut. 

Aku tengok kanan dan kiri, mataku jauh ke dalam lorong antara ruangan jenazah dan rumah sakit mencari kemana kucing itu pergi. Tak lama raungan ambulance pun meneriaki ku untuk segera masuk ke dalam. Kucing itu entah kemana menghilang. Aku di tikam kesedihan.

Handy Pranowo

23 July 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun