Sayang, bantuin aku dong menulis puisi di hari ulang tahunnya.Â
Selama ini kan aku sering menulis puisi untukmu dan puisi seringkali bantuin aku.Â
Toh kamu sendiri yang bilang kalau satu sama lain harus saling membantu.
Paling tidak kamu beri aku judul yang manis deh agar puisi tahu dari mana rasa itu muncul. Lidah atau dengkul.
Tapi setelah aku pikir-pikir berapa sih umurnya puisi itu kok aku jadi gamang.Â
Aku takut salah hitung, jangan-jangan puisi memang tak mempunyai umur.
Jangan-jangan ia memang tak pernah di lahirkan, manusia saja yang kurang kerjaan memperingati dirinya. Dasar edan.
Atau jangan-jangan puisi sudah lama mati terus bangkit lalu berubah menjadi hantu.Â
Tetapi kalau ia berubah menjadi hantu, apa mesti juga di rayakan ulang tahunnya.
Bukankah yang sudah mati tidak lagi mempunyai umur dan tak pantas di peringati hari lahirnya.
Aduh sayang cepetan dong jangan diam saja nanti keburu ia pergi tuh. Keburu ia benar-benar mati.
Yang di ajak bicara ternyata sudah tidur tinggal aku dan puisi saling berhadap-hadapan di dalam kamar yang remang.
Mata kami seakan-akan saling mengucapkan kata, tubuh kami berpelukkan dan tak lama puisi menangis.Â
Air matanya berguguran bagai kelopak bunga di tikam gerimis lalu ia pergi keluar lewat jendela dengan perasaan yang sedih.
"Puisi tunggu!" Kataku cemas.
Lalu ia berhenti dan aku pun segera menghampiri.
Ini ku berikan jantungku untukmu, biarlah aku mati dan kau tetaplah hidup sampai nanti".
Handy Pranowo
29 April 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H