Sudah dua tahun belakangan ini semenjak wabah flu paling canggih menyerang dunia dan dengan cepat pula penyebarannya di Indonesia tanpa basa-basi tanpa pilih kasih lalu dengan sadis melumpuhkan salah satu organ vital manusia yaitu paru-paru hingga berujung hilangnya nyawa.Â
Maka dari itulah Mudik Lebaran sudah lama tidak merasakan pulang kampung menikmati hari raya bersama keluarganya di sana. Ia takut akan membawa penyakit flu tersebut dan menularkan keluarganya di kampung.
Sungguh menyedihkan memang semua aktifitas manusia di dunia di batasi dari masalah ibadah hingga silahturahmi demi mencegah penyebaran penyakit flu canggih tersebut yang kian hari semakin tidak terkendali.
Istri dan satu anaknya berada di kampung, tadinya mereka tinggal bersama Mudik di kota besar namun semenjak awal wabah menyerang dan rasa-rasanya semakin menggila ia hijrahkan buru-buru anak dan istrinya ke kampung halaman demi keselamatan keluarga kecilnya.
Semua perkantoran atau pekerjaan yang berhubungan langsung dengan aktifitas manusia di sekat, di batasi. Sekolah sebagai ruang belajar di tutup. Pariwisata sepi. Di jalanan yang ramai hanya sirene ambulan dan kematian. Kota besar mati.
Orang-orang wajib mengenakan masker dan di swab demi mengendalikan wabah dan menekan angka penyebaran serta upaya terakhir yang di lakukan pemerintah demi perlindungan kesehatan warganya adalah setiap orang wajib vaksin hingga tiga kali. Sesuai dengan kriterianya masing-masing.
*****
Sudah lama Mudik Lebaran tak merasakan nikmatnya ketupat dan opor ayam buatan ibunda tercinta. Selama ini opor ayam dan ketupat hanya dapat dari kiriman tetangga yang masih baik hati dan perduli kepadanya.Â
Rasanya sudah lama pula ia juga tak bersimpuh di kaki orang tuanya yang kini hanya tertinggal ibunya saja. Rasa rindu sering datang namun apalah daya, perasaan yang sama juga pasti di rasakan oleh yang lainnya.
Paling-paling saat ini Mudik Lebaran hanya bisa menikmati khidmatnya kebersamaan Idhul Fitri melalui telepon genggam seri lama yang batu baterainya sudah melendung dan dengan itu juga ia harus merogoh koceknya lebih untuk membeli pulsa kuota.Â
Anaknya laki-laki masih berumur dua tahun sedang lucu-lucunya dan selalu memanggil ayah lewat sambungan telepon. Istri dan ibunda tercinta kerap kali menangis dalam sambungan video call dan berharap Mudik baik-baik saja di perantauan.
Sungguh perasaan di dalam hatinya merintih menjerit namun tak banyak yang dapat ia lakukan selain kesabaran yang gigih demi sebuah peruntungan yang baik di kota besar yang kini semakin lama semakin sulit.Â
Pekerjaannya hanya serabutan namun yang pasti ia adalah kuli panggul di pasar tradisional dan sudah di geluti lima tahun belakangan ini.
Pendapatannya kadang naik namun lebih sering turun. Keluarganya di kampung selalu meminta Mudik untuk pulang dan tinggalkan kota besar.Â
Ibunda tercinta menyuruhnya melanjutkan pekerjaan suaminya dulu di kampung sebagai penambang pasir dan batu kerikil. Namun Mudik tetap tak bergeming dan tak mau pulang apalagi harus bekerja sebagai penambang pasir.
Baginya tanah di kampung sudah tidak menghasilkan apa-apa selain kericuhan dan sengketa.
*****
Tahun ini meski ada sedikit kelonggaran bagi Mudik Lebaran untuk pulang kampung namun ironisnya kebutuhan hidup serba naik, harga-harga melambung tinggi tak terkendali bahkan ia harus keluar dari kontrakkan dan tinggal di sebuah masjid sebab tak sanggup lagi membayar uang bulanan.Â
Ia harus mengirit uang hasil pekerjaannya untuk bisa di bawa pulang kampung bila nanti hari raya tiba. Ia berjanji memberikan hadiah baju dan kerudung untuk istri dan ibunda tercinta.
Apa yang mesti Mudik Lebaran banggakan di kampung, apa yang mesti ia pamerkan di sana haruskah kepedihan dan keperihan. Bisa hidup di kota besar tanpa menyusahkan orang tua dan pulang kampung dengan selamat sudah cukup bagi Mudik.
Mudik Lebaran bukan lelaki cengeng dan juga bukan pula lelaki pemalas apalagi orang yang suka mengumbar hasil kehidupan dari sebuah pekerjaan di kota besar.
Mudik Lebaran hanya rakyat kecil dengan penghasilan yang minim terkadang untuk menambah pendapatannya dari kuli pangggul ia nyambi menjadi tukang parkir di supermarket atau menjadi pak ogah di perempatan jalan.Â
Harapannya sih bisa ngojek online seperti beberapa temannya namun Mudik tidak sanggup bayar uang muka motor apalagi mesti bayar cicilan yang di rasa bunganya terlalu tinggi.Â
Ada seorang temannya berani meminjamkan uang kepadanya namun setelah di pikir-pikir jutaan kali Mudik menolak secara halus takut-takut ia tak sanggup mengembalikan hutang malah menjadi tambah beban hidupnya di kota besar.
Tetapi memang rejeki tak akan lari kemana. Sesekali ada juga tetangganya yang memintanya bekerja seperti bersih-bersih halaman rumah, memotong pohonan rimbun di pekarangan atau menjadi kenek kuli bangunan. Lumayan upahnya bisa di simpan.
Dan yang terakhir ini sebelum bulan puasa tiba seorang Ustadz di masjid tempat ia tinggal sementara meminta Mudik untuk membersihkan masjid setiap hari dengan upah makan dan minum di tanggung oleh Ustadz serta gaji bulanan yang tidak cukup besar dari biaya operasional masjid.
Mudik pun menyanggupi dan ia begitu senang dengan pekerjaan barunya, terlebih di sini ia dapat meningkatkan ibadahnya dan lagi pula para jamaah masjid begitu baik senang menolong dan gemar berbagi kasih sayang.
Ia tinggalkan pekerjaan kuli panggulnya di pasar tradisional dan bersemangat dengan pekerjaan barunya yang tidak harus kepanasan serta kehujanan. Mudik pun seperti mendapatkan karunia dan berkah di tahun ini.Â
Di beritakanlah kabar baik ini kepada keluarganya di kampung, istrinya begitu gembira apalagi ibunda tercinta yang selalu wanti-wanti memberi wejangan untuk tetap jujur di manapun bekerja dan terus bersyukur atas apapun yang di berikan Tuhan kepadanya.
Sepertinya Idhul Fitri tahun ini Mudik Lebaran akan pulang kampung bertemu dengan seluruh keluarga tercintanya di sana.Â
Insya Allah.
Handy Pranowo
16 April 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H