Aku menunggumu di sebuah waktu. Waktu yang terasa pahit menyerang lidahku.
Lidah yang selalu mengatakan rindu untuk malam-malam yang larut biru datang dari jauh.
Sementara bulan rusuh di sudut gelap di atas dedaunan tua yang sebentar lagi jatuh.
Cahayanya tidak lagi terbentuk melainkan pudar berserakan di dadaku yang penuh menyimpan cemas dan pilu.
Semua kata-kata telah beku tidak lagi mencair seperti dulu.
Aku akan pulang lebih dulu sebelum senja tenggelam, sebelum segala resah menaiki pundakku lalu menikam.
Rasanya merebahkan diri dan membiarkan segalanya terjadi itu lebih baik dari pada harus berkutat dengan sisa-sisa nafas di dada menahan sakit.
Puisi-puisiku menanti di kubur sama halnya dengan umur.
Kau tak usah lagi datang berkunjung telah ku kemas segala penyesalan ku masukkan ke dalam karung.
Akan ku larung, ku bawa ia serta menuju sebuah musim di mana segala sesuatu tersimpan di balik embun.