Sebagian mendung telah meninggalkan rumahnya menuju samudera.
Sebagian lagi menabrakkan diri di tubuh matahari, mencari hangat, melepas sepi untuk kemudian berlari dan sembunyi.
Mendung yang cantik kelam bergulung memusara di dalam hati, menyimpan gelegar percikan api.
Sedang hatiku yang ringkih terbuat dari serpihan angin tak tahan menahan mendung selalu kalah dan murung.
Mendung terus bergerak menaiki puncak gunung, berputar-putar sebentar di lembah mencumbui dahan-dahan cemara.
Angin sekelebat datang membawanya menuju ke tengah kota mengusir para pedagang kaki lima dan anak-anak yang pulang sekolah.
Sungguh ia tak bersuara tak juga berkata-kata di tangannya penuh air yang di serap dari tanah, samudera dan juga sepasang mata.
Dan aku menunggu keriuhan air yang jatuh, menderas membasahi kalbu, jantung hatiku kering butuh siraman air.
Wahai mendung dengan harum melati di manakah engkau jatuhkan air pembasuh luka bagi bumi.