Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Balada Ayam Potong

24 Januari 2022   02:43 Diperbarui: 24 Januari 2022   02:51 1291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokpri. Ballada Ayam Potong

Setelah umurku merasa cukup dan tubuhku nampak gemuk. Barangkali itulah masa-masa terakhir hidupku berjumpa denganmu.

Dan aku tak sempat ucapkan perpisahan setelah sekian lamanya kita bersama dalam satu ruang. 

Ruang di mana kita saling berkumpul, saling mengenal dan saling berteriak bila waktunya makan.

Kamu masih ingat bukan, kita saling berdekatan saat tertidur sebab angin malam merambah lewat pinggir jaring pagar.

Tubuh kita sama-sama rapuh, kita lahir dari telur-telur yang di tetaskan tanpa ibu kandung yang mengeram.

Namun kita tak pernah menyesal dan tak pula merayakan hari ulang tahun. Meski saat kecil kita lucu dan imut namun setelah besar sebagai santapan pengeyang perut. Manusia yang rakus.

Kamu pasti tahu ke mana aku akan di angkut, di bawa pergi jauh oleh mobil bak yang penuh muatan, penuh karatan.

Tubuhku akan di masukkan ke dalam keranjang-keranjang yang bertumpuk bersama saudaramu juga saudaraku.

Hanya saja kita tak pernah tahu pasti tanggal dan hari keberangkatannya. Kita tak pernah bisa memilih hari yang baik untuk di sembelih.

Dan di tengah perjalanan aku lihat di kanan kiri jalan, kain-kain warung tenda menawarkan lezatnya daging kita bersama sambal terasi dan juga sambal bawang.

Baliho-baliho di perempatan juga mengiklankan rumah makan cepat saji yang terkenal menyediakan menu daging kita yang di goreng tepung bersama minuman soda dan juga kentang.

Tak luput pula gerobak dan gerai sederhana semarak di sepanjang jalan, tubuh kita yang matang di tepungi lalu di terangi lampu pijar.

Harga yang murah dan terjangkau sebuah pilihan lain bagi mereka yang sedikit penghasilan.

Kamu tidak takut mati bukan atau takut hidupmu berakhir seperti saudara-saudara kita yang sudah duluan di goreng dan di panggang.

Dan barangkali itu adalah sebuah pengorbanan setelah kita di tetaskan dan di beri makan.

Toh nyatanya mahkluk hidup di ciptakan untuk bisa saling menguntungkan. Seperti kita yang bisa di ternak dan di budidayakan.

Maka kenanglah masa-masa bersama dalam satu pakan, satu kandang.

Masa-masa hidup beramai-ramai yang pada akhirnya tubuh kita terpotong-potong lalu di perjual belikan.

Handy Pranowo

24012022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun