Di jalan menuju alun-alun Rangkasbitung langkahku menghitung seberapa jauh mendung telah berlalu.Â
Di sini, angkutan kota berjalan terhuyung menunggu penumpang yang tak kunjung sementara panas matahari menyengat.Â
Pohon-pohon rimbun lesu di telan murung.
Aku menjadi asing di kota ini seperti guguran daun yang jatuh di atas trotoar kering.
Di mana Saijah, di mana Adinda? Â Mereka ada di perpustakaan ucap seorang lelaki yang aku tanya di tengah perjalanan.
Lelaki itu duduk sendiri di bangku trotoar di sampingnya tergeletak buku Max Havelaar yang telah usang. Â Terlupakan, tak lagi terdengar kabar.
Oh tanah Lebak yang beradat masih ingatkah dirimu akan sejarah kelam.
Penderitaan rakyatmu di bawah kekuasaan aparat daerah yang sewenang-wenang.
Padahal tanah dan gunung-gunungmu subur, sawah-sawah terhampar luas membentang.
Namun cakar feodalisme rakus menghisap dan bebas berkeliaran.
Dan saat itu semua sulit di bedakan. Terlihat rindu namun penuh dendam.
Terlihat cinta namun memeras dan memaksa. Apakah sekarang masih kau rasa, wahai orang-orang Lebak?
Sekali lagi, matahari tak bisa di ajak kompromi seperti menyuruhku pergi dari keasingan ini.
Namun langkahku telah mendekati alun-alun dan menara masjid Agung nampak tinggi dan anggun.
Tuan Gubernur, tuan Bupati, perkenalkan diriku yang datang dari jauh.
Aku bukan makelar kopi hanya penikmat sepi, aku hanya pengunjung yang baru saja lahir dan tiba-tiba melihat Lebak, melihat Rangkasbitung.
Boleh saja waktu terus berlalu namun bagaimana juga sejarah tak boleh surut.Â
Telah banyak air mata yang jatuh juga derita hidup yang berlalu.
Di sini di Rangkasbitung, aku menyusuri jalan raya Multatuli.Â
Melihat lebih dekat apa yang pernah terjadi.
Handy Pranowo
12012022
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI