Ia, lelaki dengan kostum berwarna merah bermotif jaring laba-laba menutupi tubuh dan wajahnya.
Ia berperan sebagai pahlawan pembela kebenaran di tengah kota yang sibuk penuh dendam.Â
Dari tangannya terlontar jaring yang kuat bakal menopang tubuhnya berayun-ayun menggeliat.
Mahir berakrobat, cepat bagai kilat, ringan bagai kapas, dari gedung ke gedung pencakar langit ia melesat.
Sebuah penyelamatan sungguh penuh keberanian, menegangkan, mengharukan laksana hiburan di jaman sekarang.
Aku begitu kagum, jantungku berdegup kencang meski sebenarnya aku kedinginan dan hampir terlelap setelah setengah jam.
Sepasang kekasih di depanku berciuman ketika Spiderman berubah wujud menjadi lelaki tampan.
Sepertinya aku salah memilih nomor bangku, di sini terlalu gelap aku takut ada laba-laba menyelinap.
Aku berlari menembus kegelapan gedung dan bangku-bangku kosong lalu masuk ke layar lebar menjadi Spiderman ke empat.
Aku takut kegelapan dan musuhku adalah bayanganku sendiri yang bersekutu dengan mimpi.
Aku lihat istriku duduk di bangku penonton, ia asyik minum teh tarik.
Ia tak melihatku di sini di layar lebar ini, menjadi Spiderman dengan perut yang buncit.
Matanya berkaca-kaca melihat Peter Parker, Spiderman, Tobey Maguire.
Dan ketika ia tahu aku ada di layar, ia menangis tersedu-sedu bahkan tak menyangka itu aku. Lalu.
"Abang ayo bangun, filmnya dah habis, awas jangan sampai hilang tuh karcis parkir"
Handy Pranowo
29122021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H