Cuaca panas terik, jalan aspal nampak membara di selasar pasar orang ramai berdesakan. Kami berkeringat, aku genggam tangan ibu erat.
Sampailah ibu di toko yang di tuju, di katakanya apa yang hendak di cari dan aku tekun menunggu.
"Tuh kan nak hanya sebentar, seharusnya kamu temani bibi di rumah sambil lihat majalah kartun yang ayah belikan Minggu lalu lihat wajah mu merah kepanasan di depan nanti kita beli minuman".
Namun di tengah perjalanan pulang nampak pedagang baju anak ramai berkoar-koar.
"Ibu lihat baju itu lucu, aku mau baju itu bu, rasanya sama dengan tokoh di majalah kartun".
"Nanti nak, tunggu ayahmu gajian, uang ibu hanya cukup ongkos pulang dan beli minuman".
Aku diam tak mau pulang, mematung di depan pedagang kaki lima yang terus-terusan berkoar. Lelaki kurus itu kikuk, senyum-senyum kecut.
"Mari bu, bisa di tawar kok asal pantas, harga cocok barang di kemas".
Ibu diam memalingkan muka, tangannya menyeret tubuhku untuk berjalan. Aku menangis, merengek-rengek lalu menjatuhkan diri berguling-guling di lantai pasar.
Sandal karetku terlepas melayang masuk ke dalam selokan. Ibu sedikit kesal.
"Besok saja ke sini lagi nak, jangan kamu menangis seperti ini, ayah marah nanti".