Sebentar lagi pagi akan tiba, bunga-bunga awan merah merekah menghiasi langit jingga.
Angin lembut melintas di antara keheningan pagi sambil menyuruh bulan segera pulang ke rumah.
Matahari akan muncul dalam hitungan ke tiga, burung-burung bersayap hitam berlarian menembus cahayanya.
Gelombang kehangatan sebentar lagi datang bercerita tentang derai hujan semalam.
Dari kaca jendela kereta hamparan sawah kuning menyala, pohon-pohon rindang melambaikan tangannya.
Rumah-rumah berselimut dingin pagi, asap tungku dari dapur keluar melalui celah-celah genting yang berlumut.
Boleh jadi secangkir kopi atau teh hangat dengan ubi rebus menunggu di santap.
Dan tanpa bersuara sebutir embun jatuh dari daun yang baru saja mekar.Â
Ah, aku merasakan sesuatu di hatiku seperti di dengarkan lagi sajak tentang kenangan yang jauh.
Aku lihat diriku tengah bermain gundu dan kakiku tak mengenakan sandal.
Dan dari dapur tungku kayu, aroma nasi goreng buatan ayah memanggil-manggil namaku .
Ibu tengah duduk di kursi tamu sedang menjahit celana seragam sekolahku.
Segalanya nampak sederhana, aku belajar menghitung angka dan membaca cerita.
Namun tiba-tiba waktu menanjak dewasa, segalanya tak terasa, hampa.Â
Aku punguti sisa-sisa kenangan itu meski nyatanya sia-sia.
Waktu telah mencair menuju muara tak akan lagi kembali ke hulu.
Akan ku ketuk pintu rumah itu dengan air mata.Â
Setelah sekian lama diriku asing dan terlunta-lunta di balik tembok kota.
Dan bagai masa kanak-kanak dulu aku akan bercerita.
Sambil kepalaku terbaring di atas pangkuan ibu tercinta.
Handy Pranowo
29112021
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H