Bulan baru saja naik ke atas langit melewati atap-atap rumah yang lesu dan gedung-gedung tinggi pencakar langit. Wajahmu muram tubuhmu meringkuk menggigil, rupamu seperti sabit.
Engkau sendiri, melamun dan menyepi tanpa pernah memejamkan mata, kau sandarkan tubuhmu pada angin namun tak pernah kau luput apa yang telah di takdirkan kepadamu.Â
Tubuhmu tenggelam dalam dingin, keteguhan menyelimuti batinmu. Terbuka dan telanjang.
Kesetiaan selalu ada di dalam hidupmu meski untuk malam-malam penuh luka dan kelabu semoga Tuhan menyertai perjalananmu.
Puisi ini aku ciptakan untukmu saat bintang-bintang terpisah dalam rentang jarak yang jauh.Â
Cahayamu jatuh di atas meja, menerangi kata-kata yang hampir rampung ku tata. Hampir dan selalu begitu.
Aku ingin mengabadikanmu sebelum sempat kau tenggelam ke dalam pagi yang buta.Â
Sebelum kabut menelanjangi ihwal perjumpaan yang hampa serta percakapan yang sia-sia.
Maka kokok ayam jantan pertama terdengar itu berarti tandanya jam dua malam, seorang pemabuk, ringkih dan kikuk terus menuliskan kata-kata untukmu.