Terkadang aku merasa takut sendiri namun aku tak suka berada di tengah keramaian, aku seperti tersingkir.
Aku sulit berpikir, aku sulit menerka, aku sulit membedakan tangan-tangan mana yang benar-benar bisa menerima kekalahan hidup.Â
Sementara mulut-mulut mereka terus mencengkram bahu, melemparkan aku jauh.Â
Tak ada bintang, tak ada bulan, tak ada cahaya apapun selain kemarahan dan kesedihan.Â
Nafasku berat terombang-ambing bangkit dari lorong-lorong ketiadaan, bergerak terus bergerak mencari pintu keluar.
Rahim kehidupan, oh rahim kehidupan akankah kau lahirkan aku kembali dengan kedua tangan yang sanggup memeluk tanpa memilih.
Haruskah aku menangis, haruskah aku mati.
Cinta dan rindu bagai debu-debu halus berterbangan, menempel di dinding, di tumpukan buku-buku yang kelelahan dan di jam waktu yang terus menggelinding.
Kenangan demi kenangan pun berlalu melepaskan sayapnya melata di tanah bagai ular lalu ku injak-injak sebelum akhirnya aku buang.
Dan di sini aku saksikan ada orang-orang yang mengikat lehernya dengan tali, ada orang-orang yang menembakkan kepalanya dengan bedil namun aku lihat pula banyak orang-orang yang menggeliat hidup dan berarti.
Oh Tuhan urat nadiku bergetar, air mataku berjatuhan, apakah doa-doaku telah sampai?