Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pohon Jambu Air dan Kenangan Masa Kecilku

12 September 2021   20:30 Diperbarui: 12 September 2021   20:41 798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pixabay.com

Waktu aku masih kecil aku ingat ada sebuah pohon jambu air di samping rumahku, entah sejak kapan pohon jambu itu ada di situ yang pasti ia lebih dulu lahir dari pada aku sebab tinggi dan besar badannya melebihi diriku. 

Keluargaku sangat menyayangi pohon jambu air itu, sering di siram dan juga di beri makan pupuk kandang.

Aku dapat mencium aroma tubuh pohon jambu air itu segar dan ranum, ia begitu tinggi hingga melebihi atap rumahku. 

Seringkali ia merontokkan daun-daunnya di atas loteng dan tak ada satu pun yang berani memarahinya. 

Apabila datang musim buah, bunga-bunga jambu bergerombol bermekaran dengan putik-putiknya seperti jarum-jarum halus nan lembut.

Angin senang sekali bermain dengannya menggoyangkan batang dan ranting pohon jambu itu hingga putik-putik bunganya berjatuhan ke tanah seperti salju. 

Kumbang-kumbang dan kupu-kupu seringkali berkunjung bila ia sedang berbunga penuh. Ia begitu kuat, begitu tabah dan tahu bila majikannya senang merawat dirinya. 

Bila buahnya sudah masak berwarna merah gelap rasanya manis seperti hidupnya yang di cintai semua orang bahkan semua tetangga sering mampir mengambil buahnya.

Ketika datang hari Minggu ayahku mengajak aku memanjat pohon jambu itu lalu menuju loteng dan membersihkan daun-daun yang berserakan di atas sana. 

Selagi ayahku sibuk memunguti daun-daun kering yang layu, aku berusaha memanjat ke batang pohon yang lebih tinggi, kaki kecilku gemetar namun aku begitu senang ketika aku mencapai puncaknya.

Angin menerpa wajah dan tubuhku, aku mencoba menyeimbangkannya agar tidak jatuh. Sepertinya diriku menyatu dengan dirinya, ada ikatan batin yang kuat yang tak bisa di pisahkan begitu saja.

" Lihat ayah ada menara tinggi menjulang jauh di sana" sahutku gembira.
" Itu menara TVRI nak, adanya di Senayan" jawab Ayahku.
 
Sejak saat itu aku sering memanjat pohon jambu air itu hingga sampai di puncaknya, aku bisa berlama-lama di atas sana dan kita saling berbicara tentang langit biru atau burung-burung kecil yang terbang jauh. 

Kadang-kadang pula kita saling diam tanpa bicara entah apa yang dalam pikiran namun mata kita melebar memandangi rumah-rumah dan menara-menara masjid yang terlihat bertumpuk sesak di tanah.

Suatu malam aku bermimpi pohon jambu air ku datang mengetuk pintu kamarku lalu ia masuk sambil menangis menghampiriku dan memeluk tubuhku. Aku tak tahu mengapa ia begitu sedih, ia menundukkan kepalanya tepat di depan mataku. 

Aku bingung mesti bagaimana padahal baru beberapa hari yang lalu kita mentertawakan sebuah layang-layang bergambar burung yang menukik tajam jatuh mengenai antena tetangga rumahku. 

Aku mencoba bertanya kepadanya kenapa ia begitu sedih dan muram namun ia diam saja sepertinya bingung mau bicara apa dan air matanya terus berjatuhan dan kembali ia merangkul tubuhku.

Hingga suatu hari baru aku menyadari bahwa pohon jambu air itu akan segera di tebang, ayah menjual sebagian tanahnya kepada tetanggaku yang di mana tepat pohon jambu airku tumbuh. Entah mengapa ayahku menjual tanahnya, pada saat itu pun aku tak tahu.

Dan saat pohon jambu air itu di tebang aku menangis tak tega melihat bagian tubuhnya di potong-potong hingga habis, akar besarnya di keluarkan dari tanah dan yang tersisa hanyalah kenangan manis bersamanya. 

Aku tak kuasa membayangkan sakit di tubuhnya namun aku yakin ia begitu tabah, begitu ikhlas dan mau menerima kehendak majikannya.

Handy Pranowo

12092021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun