Angin lembut berhembus membawa bulan perak keluar dari balik awan.
Malam datang terlambat sebab hujan mencegatnya di ujung jalan.
Daun-daun jatuh berserakan dingin tak berdaya, bau lumutan basah lepas dari kelembaban tanah.
Pohon-pohon beku oleh waktu dan hempasan angin hujan lalu mereka menunduk saling berpelukan.
Tetes air terakhir baru saja jatuh dari langit mengenai kaca jendela yang cemas tertutup rapat.
Bintang-bintang mulai bermunculan sedikit demi sedikit, tubuhnya terlihat bergerak menari-nari di kegelapan.
Saat ini mungkin orang-orang saling mendekap menyelimuti tubuhnya menghangati jiwanya dari hawa dingin yang muncul merebak.
Udara segar menemukan jalan keluar, bergerak melewati malam yang baru saja hadir memainkan takdirnya.
Sisa air hujan menggenang di tanah datar di jalan aspal dan di hati yang lapang terbuka.
Tirai kelambu di buka, pertunjukan malam baru saja di mulai cengkerik dan kumbang berloncatan memeriahkan kesejukan.
Kemudian malam mulai menembang maskumambang, hening nan syahdu di dendangkan.
Cakrawala bergetar, angin berhembus pelan, diam-diam cahaya bulan jatuh ke bumi pasrah dalam keteguhan.
Meliputi ke dalam jiwa malam yang hening, bening, murni dalam kesabaran.
Embun-embun baru saja mulai di bentuk dari rangkaian doa-doa manusia sebelum tertidur.
Burung-burung malam berterbangan, detik-detik jarum jam berkejaran di dinding, waktu berkelindan dengan kehidupan.
Hari-hari mengejar kekosongan dan aku merasakan kedamaian dari balik kaca jendela kamarku yang buram.
Lalu kabut memecah di jalan lengang beribu kunang-kunang menyerang kegelapan.
Tuhan masih terjaga, aku belum mengantuk, pada suatu malam ketika hujan baru saja selesai.
Aku menyaksikan keindahan alam, malam.
Handy Pranowo
21092021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H