Matamu bagai lampu jalan dalam redup angin malam, bibirmu kesepian yang di cemaskan kabut tebal.
Tergesa-gesa dirimu menyeret waktu saat pagi menyerang.Â
Bukankah kita pernah bertemu lalu berjabat tangan saling mengucapkan nama yang tak pernah kita kenal.Â
Mencatat sebuah alamat dengan nama jalan yang susah di jabarkan. Kebahagiaan atau kesedihan.
Aku masih bisa mencium harum tubuhmu yang lunglai meski di kesunyian yang paling sulit terurai.
Kata-kata rindu untukmu di dalam sajakku yang telah lama tercerai- berai sedikit demi sedikit aku kumpulkan lalu ku semai.
Hingga pikiranku merangsak ke dalam lekuk tubuhmu yang diam-diam malu mengatakan kepadaku.Â
" Aku rindu tanganmu yang kekar, wahai lelaki yang bertemu di sudut malam".
Sungguh aku pikir kamu telah mati di telan kehampaan badai kegelapan.Â