Kami memutuskan makan di kereta makan ketika kereta melaju di tengah persawahan. Kereta berjalan tidak kencang tidak lamban dan di luar nampak angin melambai-lambai.
Kami sudah tahu di mana gerbong kereta makan di rangkai namun kami tak tahu apakah ada menu lain yang di tawarkan. Selain menu yang itu-itu.
Nasi goreng adalah pilihan terakhir yang bakal di perhitungkan, kopi dan teh manis sebagai penutup, itu pun tanpa keripik kentang sebab kami lebih menyukai roti isi coklat dan selai kacang.
Kami memang suka makan di kereta makan, lebih romantis rasanya sambil sesekali melihat keluar jendela, memandangi sawah dan pegunungan berpelukan mesra.Â
Saung-saung bambu nampak teduh dan jauh, layang-layang tinggi mengitari gunung nan angkuh. Kali kecil dan anak-anak berenang, awan selembut kapas merangkul burung-burung terbang.
Entah siapa yang telah menciptakan damai di luar sana? Apakah itu semua khusus bagi penumpang kereta?
Sebenarnya bisa saja memesan makanan dari bangku tempat kami duduk namun kami lebih suka makan di kereta makan.Â
Meskipun tak ada menu spesial yang di tawarkan dan orang-orang lebih senang memilih diam, duduk di bangkunya sambil memainkan telpon genggam.
Bagi kami makan di kereta makan menjadi ritual tersendiri dalam perjalanan. Kami selalu mencatatnya ke dalam buku kecil berwarna biru semacam diary tak bersampul.Â
Dan kami di ajari berdoa sebelum makan, di kereta makan kami juga berdoa dengan doa yang sama selain itu ada pula doa untuk keselamatan perjalanan.
Kami percaya sepenuhnya kepada Masinis tentang kemana arah kereta berjalan, kami tak butuh peta untuk sampai di tujuan selain kesabaran dan ketenangan duduk di bangku sesuai nomor pesanan.
Menulis puisi, menggambar sketsa sawah adalah kegemaran kami saat dalam perjalanan sambil mendengarkan mesin diesel kereta yang garang, roda besi beradu di sambungan.
Apakah itu semua hal-hal yang indah yang di tawarkan? Kami bahkan bermimpi seandainya bisa naik kereta tiap hari.Â
Makan di kereta makan, menulis puisi, menggambar sketsa sawah, melihat sungai dan anak-anak berenang di kali. Sementara petani tengah sibuk menghardik burung-burung pipit.
Jiwa ini seakan merdeka dan sejujurnya kami tak perduli kereta akan membawa kami kemana.Â
Ingatan ini selalu saja pada pemandangan di luar jendela dan saat itu kami tak butuh makan, ternyata.
Handy Pranowo
18082021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H