Setelah lokalisasi digusur dan berubah menjadi taman kota, aku mencoba mencari peruntungan lain dengan menjadi tukang pijat panggilan. Tarifku seratus ribu untuk seluruh badan.Â
Aku tak menerima pijat bagi laki-laki, aku putuskan demi anak perempuan ku yang tumbuh semakin besar.
Beberapa waktu yang lalu teman lamaku datang mengajakku kembali menjajakan diri, katanya lokalisasi tumbuh subur di internet, booking online, show di hotel-hotel lebih aman.Â
Konsumennya anak-anak bau kencur yang punya pendidikan yang diam-diam suka download film dan gambar vulgar.
Aku katakan kepadanya bahwa kini payudaraku telah kendur dan gairahku pun menurun, lagi pula lelaki mana yang mau denganku, umurku sudah hampir empat puluh tahun.Â
Aku tak lagi tertarik dengan masa lalu hidupku, tubuhku sudah habis terjual dan aku telah terpuaskan oleh racun dunia dari selangkangan hingga ubun-ubun.Â
Dan semua itu bermula ketika umurku tiga belas tahun, diriku di paksa membayar hutang keluarga sebesar lima ratus ribu rupiah kepada seorang rentenir sebab nyawa ayah dan ibuku terancam.Â
Kalian tidak tahu bagaimana rasa sakitnya aku pada saat itu, penuh darah, luka dan kecewa. Frustasi dan hendak mengakhiri diri.
Senja sore ini nampak bersahaja, menyapa pintu dan jendela rumahku, gang-gang sempit yang lembab dan buruk masih juga membuat kami hidup, tak ada yang sia-sia di kota besar ini, salah bila kalian katakan Jakarta jahat bagai ibu tiri.
Anakku perempuan sudah mandi dan siap mengaji. Namun di sini tak ada musim yang bagus, musim hujan banjir, musim panas bau kali menguap, limbah rumah tangga dan lumpur menyatu, nyamuk-nyamuk bebas terbang seperti juga debu-debu.Â
Mantan suamiku bukan orang yang baik, aku mengenalnya di tempat kerjaku yang dulu. Ia datang mengaku sebagai pegawai swasta, setelah beberapa kali kencan ia bilang jatuh cinta kepadaku, katanya mataku mirip sekali dengan mata istrinya, ah dasar laki-laki, penuh gombal, penuh intrik.
Ya seperti itulah hidupku semua telah terlanjur terjadi dan tak akan mungkin terulang kembali. Kini aku lebih suka bersentuhan dengan Tuhan, tangannya lembut dan seringkali mengajakku menyelami keindahan.
Cahaya matahari memudar perlahan, nyala lampu di rumah-rumah sempit menerangi jalan dan wajah penghuninya di dalam. Lurus dari gang ini apartment dan gedung-gedung menjulang nampak kokoh dan anggun.
Anakku perempuan sudah pulang mengaji, cita-citanya hendak menjadi dokter katanya agar bisa sembuhkan batuk ibunya yang kerap kali kambuh sejak di diagnosa ada kerusakan di dalam paru-paru.Â
Tuhan, dalam bayang-bayang tidurku engkau hadir menggerayangi tubuhku namun aku takut, aku takut kamu ambil nyawaku maka dengan siapa nanti anakku perempuan akan di tuntun.Â
Sebab waktu aku persis sama dengan umurnya, kamu tidak datang menolongku, kamu tidak hadir saat rentenir itu menutup wajahku dengan kerudung biru milikku.
Tetapi Tuhan, aku tetap mencintaimu.
Handy Pranowo
05052021
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI