Dari kata-katamu aku lahir sebagai puisi yang mencintai kesunyian malam saat hujan melantai gamang.
Mereka mengira kata-kata itu sebagai mantra pemanggil hantu sedang aku mendengarnya itu adalah lelucon yang paling tidak lucu.
Aku begitu ringkih ganjil untuk di timang sebab genap kehadiranku bagai masa lalu penuh luka-luka membiru.
Namun sepasang lenganku begitu lembut dapat menjatuhkan hujan di dalam dadamu dan menumbuhkan air mata berwarna abu-abu.
Dari kata-katamu aku lahir sebagai puisi yang merencanakan sebuah perjalanan menuju laut bersama gelombang dan angin yang tak pernah surut.
Wangi tubuhku bagai aroma senja yang hendak di jaring oleh nelayan ketika mereka berpesta di atas perahu bersama lumba-lumba dan ikan hiu.
Pipiku merah mengembang, bibirku melukis senyum yang paling kecut namun mereka enggan memberikan aku nama dan aku pun enggan menyebut nama mereka.
Bahkan aku tak bisa menangis meski air mataku terus mengalir menjadi rona merah yang berdesakan di angkasa dan mereka menyebutnya senja.
Dari kata-katamu aku lahir sebagai puisi yang sayapnya membentang luas namun ragu untuk terbang bebas.
Tetapi aku berusaha untuk berlari menuju ujung sepi di mana embun biasa menyendiri menunggu untuk di bunuh matahari.
Handy Pranowo
24022021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H