Kau si pedendang hujan, berpayung rindu, berteman angan.Â
Senantiasa menabuh sepi kala awan mendung merajahi bumi.
Kau bunyi kekalutan, kau dengung halilintar.
Kau nyanyian hujan yang menggugurkan rindu di telapak tangan.
Pada dirimu pula jantung hatiku tertanam, memekarkan butiran hujan bagai bunga-bunga perdu di antara semak belukar.
Menggenang kabut cinta, gemetar ku rasa parau suaramu di dada bahkan ku kenali bagai doa yang ringkih pada hujan pertama.Â
Kau si pedendang hujan, kuyup basah cintamu tersirap gamang, naluri kasih menyusur di setiap dingin bibirmu yang kering.
Ingin ku kecup hingga kuncup serupa putingmu yang lembut mengkilap, mekar di ujung mega saat hujan membasahinya.Â
Kau si pedendang hujan, akankah syairmu kan tumbuhkan pelangi di dahan jiwamu yang sepi sementara aku menunggumu berdendangÂ
tak nampak pula hujan kan datang kecuali guratan-guratan awan yang takdirkan gelap merajam segala kenang.
Takdirmu dan takdirku berjalan bersama ingatan-ingatan fakir yang lupa jalan pulang mengharap sesuatu yang tak pernah di harapkan.
Seperti hujan di musim kemarau panjang.
Handy Pranowo
11012021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H