Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Pada Suatu Ketika (Dalam Perjalanan Kereta)

20 Maret 2018   21:18 Diperbarui: 20 Maret 2018   22:06 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam gerbong kereta ekonomi aku melihat diriku yang jelata, meski tak lagi berbaur dengan pedagang asongan tetap saja diriku tak kelihatan kaya.

Seorang lelaki renta duduk di depanku, nanar matanya menembus kaca jendela. Di luar terik, sangat terik.

Sepotong ingatan bermain sebentar, mengetuk kaca jendela kereta yang buram. Ada anak yang tak tahu rimbanya, ada istri tercinta yang menunggunya di surga. 

Di lambaikanlah tangannya menyapa kepada deretan pohon-pohon yang berlarian pulang. Senyumnya lelaki itu patah berhamburan, agak sinis lalu mendesah lelah.

Aku terkesima, melihat serpihan- serpihan senyumnya itu terbang bebas di udara, terbawa angin menuju ke lembah bukit yang sedari tadi menunggu mendung datang. Lalu perlahan-lahan lenyap, di gantikan gerimis nan menjuntai. Kereta terus berjalan, melindas segala ingatan, menerjang segala kenang.

Tiba-tiba aku seperti merasakan luka yang mencelat dari jendela, apakah ini serpihan senyumnya tadi ataukah perasaanku yang terbawa sepi. Kembali ku pandang lelaki renta tersebut, ku pastikan bahwa itu bukan wajah rentaku yang keriputnya berceletoh tentang kekuatan yang semakin pudar.

Namun aku rasa aku tak akan sampai pada umurnya terlalu banyak kepedihan yang aku tanggung nanti. Lihatlah hamparan sawah menguning bagai umurku yang sebentar lagi merunduk, merebah, membumi lalu habis di makan tanah. 

Kereta semakin kencang berjalan meninggalkan ribuan jejak serta stasiun-stasiun tua yang terlanjur lupa tuk di kenang. Tetapi wajah lelaki renta itu seperti menuding kerapuhanku. Diam-diam aku menyesal telah melempar sebiji mataku pada sawah yang terhampar luas. Berharap kelak matahari akan terbit dalam kelenjar padi yang ngotot tak mau menunduk.

Kemudian aku beristighfar, berdoa semoga Tuhan memaafkan segala dosa-dosaku yang lalu agar kelak ku ilhami, ku hayati setiap jengkal makna perjalanan hidupku menuju mati. 

Dan akhirnya  kereta mulai melamban memasuki sebuah stasiun entah sampai di mana sekarang yang aku tahu lelaki renta itu telah tertidur.

Handy Pranowo & Indah Patmawati

200318

Terimakasih buat Mas Adji yang dulu pernah memperbolehkan aku memakai bait puisinya ( Dalam gerbong kereta ekonomi aku melihat diriku yang jelata ).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun