Rindu yang sembunyi di balik gerimis, basah oleh derai air mata.
Melintas wajahmu dalam kabut pikiranku, terbang bersama kupu-kupu.
Telah ku tinggalkan separuh jalan, mengubur aroma wangi tubuhmu.
Sementara waktu terus menggeliat, memangkas kenangan demi kenangan di tepi malam.
Engkau yang pernah hidup akhirnya harus mati.
Tinggalah sisa-sisa manis yang ku nikmati bersama sunyi.
Semua yang datang, semua yang pergi mempunyai alasan yang sama.
Alasan yang kadang-kadang tak sanggup kita maknai sebagai jalan kehidupan.
Dan pada terakhir kalinya kita berhadapan, nyatanya banyak celah yang mesti di isi dengan keikhlasan.
Lalu mengalirlah, mengalirlah segala rindu dan cinta ke dalam rongga dada.
Dan kita pasrah menyimpannya untuk suatu waktu bakal terpisah.
Sebab kita bukan wujud yang pasti akan hidup selamanya.
Kini aku datang dengan seikat kembang di penuhi embun kerinduan.
Hatiku semakin lapang menerima kepergianmu, menerima keputusanmu.
Barangkali inilah maknanya, kita menjadi paham arti kebersamaan masa lalu, toh nyatanya tak ada yang perlu di sesalkan.
Dirimu pun ku tahu telah banyak berdamai dengan ribuan kenangan. Tidak lagi menangis di dalam kamar.Â
Sengaja aku datang tanpa mengabarimu karena kebetulan aku rindu.
Aku tak ingin kamu tahu, aku tak ingin mengganggu istirahatmu.
Ini hanya sebentar bahkan tak cukup waktu untuk sekedar mengingat halus genggaman tanganmu.
Maka nikmatilah seluruh musim yang panjang di sana tanpa derai air mata.
Selatan Jakarta
241017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H