Sajakku mandek di tengah kemacetan kota, tercerai berai bising paling pekak di telinga.Â
Orang-orang di jalanan saling sombong di bungkus kemunafikan yang paling gilaÂ
sedang hidup terus terkontaminasi debu perilaku tanpa akal, tanpa kesadaran jiwa.
Kita di paksa saling berebut, saling bertengkar untuk sesuatu hal yang mudah binasa, kekuasaan, kekayaan.
Lihatlah wajah-wajah mereka penuh kecemasan di paksa terus berputar di jam-jam sibuk yang menyedihkanÂ
sebab kata pulang dan rindu rumah tak akan pernah usai.Â
Gaduh menerebos norma-norma kesopanan, tak ada rambu-rambu yang tak di langgar.
Apakah kamu lelah, apakah ada istirahat sementara hari menjarah waktu kematian yang semakin dekat.
Sementara angin ribut berkecamuk dalam pergaulan sosial, orang-orang tak lagi bisa menyelesaikan masalah dengan pikiran.
Di jalanan kalut saling sikut, dalam gedung ribut-ribut urusi perut, dan aku yang bingung diam-diam kentut malah kalian bilang salut.
Dasar bodoh.
Dan kalian semua adalah pengecut.
Oh, hati yang penuh dengan umpatan, cacian, nurani yang bersih terbelenggu, terkunci di tong-tong sampah keadaan.
Tanpa di sadari kita telah menyakiti orang lain, kita telah merusak keberagaman hidup yang mestinya di hargai, di hormati.
Lalu tak mau kalah, mau menang sendiri adalah kita yang hidup di jaman sekarang ini.
Adakah tersadar dalam sendirimu, dalam doamu, adakah tersadar menjelang tidurmu?
231017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H