Aku masih menyimpan kepergianmu di antara percik hujan musim kemarau tahun lalu.Â
Seperti sebuah dongeng menjelang tidur yang terlipat di balik selimut, kisahmu masih saja terngiang tanpa ujung.
Hendak ku buang kemana, jejakmu masih ada di sebagian teras halaman rumah.
Aku yakin kamu telah merubah namaku menjadi kenangan atau bahkan dengan sendirinya akanÂ
menjadi pecahan-pecahan kerikil yang cukup untuk merobek langkah kakimu yang getir.
Jujur, kita berjumpa di saat segalanya tidak memungkinkan, di waktu yang sempit hingga setiap detik menjadi sulit
menterjemahkan keadaan meski terus kau jejali paru-paruku dengan rindu yang cukup membuatku terserang batuk.
Hanya sekejap saja kita menjelma menjadi hening ketika malam merayakan gerimis yang paling amis di kenang.
Setelah itu kamu hilang, loncat dari pagar pandanganku yang belum selesai ku tuliskan nama dan alamat rumahku.
Aku tak bisa menerimamu utuh sebagaimana mestinya, sebagaimana tanah menerima hujan di kala kemarau melanda.Â
Sebab, aku telah menjadi samudera, samudera yang tak bisa di arungi siapapun kecuali angin.
Sementara dirimu hanyalah bentang cakrawala yang terlampau panjang menyimpan dendam,Â
dendam kepada matahari, dendam kepada pelangi, dendam kepada warna senja yang tak pernah bisa kau cungkil artinya.
Maka biarkanlah ini waktu terakhir aku menikmatimu sebagai seseorang yang penuh rindu setelah kata-kata kematian ku bisikan di telingamu,Â
bagiku ini cara yang paling sederhana meski ku tahu telah terlambat sebab kulihat tak nampak dirimu di surga.
Surga! Surga yang pernah kau rancang dan tak pernah selesai sampai sekarang.
Kamu, benar-benar telah mati dalam hidupku kini.
20170927
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H