Luka ini masih saja menyisakan nyeri di lambung ingatan.Â
Ketika langit memerah dan asap perang mengepul hitam.
Aku terjaga di baris depan dengan moncong senapan, tak gentar sedikitpun,Â
mataku saling bertatap dengan malaikat maut yang akan merenggut nyawa musuh.
Setiap perlawanan meminta sesosok muda nan tangguh menjadi sesaji suci berkafan merah putih.
Tak rela jiwa ini membiarkan tanah tumpah bumi pertiwi di injak-injak
Dan di medan laga, dengan jiwa-jiwa yang tak regang nyawa.Â
Jengkal demi jengkal, hasta demi hasta, perjuangan seumpama mencintai apa yang telah tertancap di dada, untuk tanah air tercinta.
Rindu nafas merdeka yang dibawa ke sana kemari, terempas di dera bayu yang melingkupi tubuh ibu pertiwi.Â
Luka-luka yang menganga, pedih perih kan kubawa mati, sebab penawar telah tawar sebelum sembuh benar.
Dan lihatlah pada garis cakrawala di sana bara api membara, jauh lebih terang dari cahaya senja,Â