Aku adalah pengembara yang selalu ingin menemukan rumah di mana saja dengan halaman yang luas penuh warna-warna.Â
Aku selalu berpikir akan kehidupan bebas merdeka tak ada satu pun yang memiliki diriku kecuali yang paling Maha.Â
Aku layaknya air yang terus mengalir di sungai dan bermuara di samudera yang terhampar luas,Â
layaknya angin yang terus berhembus di atas pusara langit tanpa batas.
Aku ingin selalu hadir di setiap musim, menjelma menjadi apapun yang ku mau. Dan dalam gemericik kabut aku menjadi gerimisÂ
yang tak jenuh menciumi ubun-ubun embun setiap pagi. Hingga bunga-bunga ungu bermekaran menyambut kupu-kupu menari.
Ketahuilah, aku menyukai apapun yang ku jumpai dalam perjalanan termasuk ketika bertemu sebuah bangku taman tanpa penghuni yang penuh dengan dedaunan.Â
Di situlah aku melihat bayanganku sendiri sedang duduk mengimani keheningan. Berdzikir dalam kewajaran, dengan suara halus tak terdengar.
Lalu ingatanku merenangi palung senja yang paling dalam hingga tak nampak lagi bayanganku kecuali selembar malam yang telah di utus menutupi kelam.Â
Di situlah aku mencium aroma rahim ibu, mencium aroma nafasnya yang lembut bagai susu. Dan ku nikmati waktu yang berhenti di urat nadinya itu.
Kini langkahku makin kian terhenti, bekas tapak-tapak sepatu pengembara di tanah merah telah di paksa menyerah.Â
Tergerus arus, tersapu kalah. Menyerah pada takdir yang tak lagi ramah, menyerah pada hari yang semakin rumit dan waktu yang kian sempit.
Dan di tepian sungai ini ketika arus air menggenangi mimpi dan membawanya pergi,Â
tetes air mataku pun berjatuhan menjadi kilau-kilau perjalanan yang bila di kumpulkan seperti buih-buih lautan.
handypranowo
040417
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H