Barangkali hanya hujan yang rintik-rintiknya bagai peluruÂ
menembus dada yang gersang oleh penantian.
Lalu kita sengaja berpura-berpura menahan kesakitanÂ
akan rindu yang terkoyak di jalan yang tergenang.
Ketahuilah hujan seperti masa silam yang datang tanpa persoalanÂ
dengan kelakar lembut yang seringkali sulit untuk di terjemahkan.
Bagai papan reklame usang di pinggir jalan dengan huruf-huruf yang sulit di baca.
Dan kita selalu menerka apa arti dan maknanya.
Terkadang ia datang tanpa berbicara namun rasanya aku sanggup berkata-kata tanpa suara dengannya.
Terkadang ia datang membawa ribuan pertanyaan yang hingga saat ini tak pernah sanggup ku pecahkan.
Dan kali ini ijinkanlah aku memunguti potongan-potongan tubuhmu yang jatuh untuk segera ku kumpulkan ke dalam bejana hatiku.
Semoga saja nanti di usiaku yang semakin senja. Aku tak lagi risau ketika ku butuhkan tetes airmu pada musim kemarau.
handypranowo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H