Ada ribuan doa yang kau panjatkan kepada Tuhanmu di malam yang tuli ini.
Doa-doa yang dulu tak pernah terkabulkan, doa-doa yang tercecer di pinggir jalan.
Hingga akhirnya kau menyepi di cangkang malam, mabuk dalam ketiadaan.
Tanpa nada gitar, tanpa candu dan arak, tanpa lirik sumbang anti kemapanan.
Kau mencoba mengukur jarak dirimu dari bayangan masa lalu yang cukup jenuh.
Dari kekhilafan yang simpang siur di abaikan, hingga jalan yang lurus menjadi berkelok dan curam.
Dan kini kau ingin mencintai hidupmu lebih dari kekurangan dirimu.
Hidup yang bernafas, hidup yang bernyawa, hidup yang serta merta harus menerima segala coba.
Kau ingin berbelok arah tak lagi mengikuti mata angin melainkan mengikuti mata hati.
Mata hati yang dulu begitu lembut mengajakmu bertakbir dalam keremangan sunyi.Â
Kau ingin jadi dirimu yang di kenali oleh penciptamu saja bukan orang lain.
Kau ingin menjadi rumah bagi karunia-karunianya yang tak pernah mati.
Maka berlinanglah tetes air matamu yang terakhir sebab tak usainya kau panjatkan doa-doa tersebut.
Hingga malaikat menutup telinganya karena terlalu sedih dan perih di dengar.
Namun tidak demikian dengan Tuhan, telinganya semakin melebar dan Dia begitu asyik menikmati alunan doa-doamu yang keluar.
Dan fajar pun tiba merenda, kau pun tetap bersujud berdoa hingga akhirnya Tuhan membangunkanmu dengan tangannya yang terbuka penuh cahaya.
Cahaya di atas cahaya.
kepada seorang sahabat.
170317
Handy Pranowo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H