Bahkan kini sepi menyadari bahwa dirinya telah sendiri.Â
Ia bertahan dalam tiupan angin, gelombang jaman serta deburan waktu yang tak pernah sekalipunÂ
menunggunya untuk bersama-sama pergi.Â
Kini sepi mencari jalannya sendiri, melewati batas-batas hari, menapaki gelisah embun pagi,Â
mencari sesuatu yang pasti di kemudian hari lalu menikung dalam kelam merobek bayang-bayang masa silam.Â
Â
Keterasingan terpancar di dalam raut wajahnya sendiri, bahkan ia lupa bahwasanya setiap musim bakal datang silih berganti .
Sementara mimpi ada di puncak ranting-ranting yang tinggi menggelantung tanpa terikat seutas tali hendak di capai namun luput tak usai.
Berbagai gambar kenangan tergores di atas langit bersama senja, awan dan bulan sabit.
Sebuah perpaduan nan sempurna berbagai rindu, cinta dan perih mengekal tanpa mengharap untuk kembali.
Â
Demikianlah sepi memeram kisahnya sendiri, mencungkil tiap tetes kristal air mata yang pernah jatuh ke bumi.
Kesadaran akan ruang untuk berbagi bagai sebuah ilusi, cermin diri tak pernah benar-benar di pantulkan
kecuali lewat jejak-jejaknya di antara gugur daun yang pernah di lintasi gerimis.
Lalu kemanakah arah tujuan, timur atau barat, selatan atau utara baginya semua sama,
sama-sama menyiratkan kesendirian yang tak lebih bagai kalimat kepedihan.
Maka seringkali sepi bertanya sendiri apakah ada penjuru lain yang tercipta di alam semesta?
Â
handypranowo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H