Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Puisi Terakhir

25 Agustus 2015   00:11 Diperbarui: 25 Agustus 2015   00:11 878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku adalah ruang yang dulu sering kamu singgahi di musim hujan. Ruang tempatmu bercerita dan menaruh seluruh keranjang mimpi-mimpi mu yang selesai dikemas setiap malam. Namun sejak saat itu, sejak kamu datang menangis dan menggenggam sebuah payung hitam di tangan, kamu tidak pernah lagi datang. Kamu menghilang begitu saja dan meninggalkan seluruh keranjang mimpi-mimpi mu yang kini terasa sesak di dalam.

Maaf bila aku tak menanyakan kenapa dirimu menangis saat itu, aku tak mempunyai mulut, aku tak dapat berbicara. Aku hanya bisa melihat, aku hanya bisa mendengar, aku hanya bisa merasa. Aku hanya ruang kosong yang gelap dan di penuhi udara kotor dan debu-debu yang melekat. Tak ada pesona apapun di dalamnya, aku tak menyimpan hangatnya rindu ataupun cinta untuk bisa ku hidangkan kepadamu saat kamu datang menggiggil karena di dera air hujan dan duka.

Kini setahun sudah masa itu berlalu dan sebentar lagi musim hujan datang. Mimpi-mimpimu masih tersimpan dan tak pernah ku buka kecuali cerita-ceritamu saja yang seliweran memantul di dinding ruanganku, bergema dan mulai berkarat. Aku mulai merasa kesepian, gemetar dan sekarat. Aku yakin kamu tak akan lagi datang kepadaku meski ribuan musim hujan menetes di atas kepalamu. 

Sebab hari ini selembar kertas terselip di lubang angin ruanganku yang sempit, kertas itu berisi sebuah puisi yang ternyata kau tujukan untukku sehari sebelum kematian memanggil dirimu. Kematian yang begitu kau hendaki agar bisa kau rebah selamanya dengan malam dan mimpi-mimpimu yang tersia-siakan.

Aku menangis, aku hanya bisa menangis, puisimu menelan semua kesombonganku dan tanpa ku duga aku lah yang sebenarnya membuatmu pergi selamanya. Lalu ku berdoa semoga saja musim hujan nanti tak akan pernah datang biar kemarau meretakkan seluruh dinding ruanganku, hingga aku rubuh dan rebah menggigil kepanasan. 

 

handypranowo

*) Keterangan Gambar: Ruangan kosong. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun