Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Sebuah Malam dan Puisi yang Tak Pernah Selesai

4 Mei 2015   14:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:23 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kamu pernah antarkan malam ke sebuah ruang di dalam hatimu yang tak ada ujung.
Tak ada dinding tak pula berpalang pintu namun tetap saja kamu rindu pada bulan dan bintang yang bercahaya.
Kamu sadar akan hal itu namun mengapa tetap kamu sembunyikan
bagai kenangan masa lalumu pada sebuah jalan yang berliku.

Barangkali kamu bosan dengan hidupmu saat ini, ingin sesuatu yang telah lama kamu harapkan dapat terjadi. Seperti sebuah kecupan yang manis tersaji di atas bibir perindu sejati yang mahir menuliskan puisi. Aku memaklumi bila memang itu mau mu, toh rahasia hati tak selamanya bisa di sembunyinya kan meskipun susah payah kau tutupi.

Dan di sini ketika malam menari dan telanjang kamu pernah menuliskan sebuah puisi yang tak pernah selesai tentang segala isi hatimu yang lara terbuang hingga akhirnya kamu kalut, bingung dan menyerahkan diri pada nasib dengan menjatuhkan tubuh dari tiang sutet yang tinggi.
Katamu dalam puisi itu seperti ini.

Aku telah gagal dan mempersilahkan diriku di jinahi kelelawar.
Aku kalut dan tak tahu jalan keluar.
Tubuhku kian ringkih semaput dan tak lagi bersih.
Cinta yang manis hanya berujung di pangkal paha setelah itu pergi dan tak lagi kembali.
Telah ku cari kamu kelelawar dan ku paksa menyerahkan diri.
Kamu berkelit dan terus terbang melintasi malam yang kelam.
Sungguh diriku tak menyangka meski sudah ku coba untuk bertahan.
Kamu kekasihku ternyata kelelawar hitam yang binal.
Tak habis pikir kamu rencanakan sesuatu yang malang kepadaku.
Lebih baik aku mati dari pada kamu biarkan aku terlantar.
Sekali retak cermin di belah tak mungkin luruh benar pantulan ke wajah.
Aku sendiri meski ringkih terus merindukanmu kembali.
Genangan air mataku tumpah dan hanya dirimu yang mampu menampung gelisah.
Aku....

Puisimu terhenti di penggalan kata aku.
Aku, aku ya kelelawar itu di sebuah malam yang terus terbang melintasi kelam.
Di antara rimbun angin dingin dan lampu temaram.
Sudikah bila ku lanjutkan puisimu biar tenang hasratmu melingkar di dalam tanah.
Dan harapanmu membias di relung jiwa yang kekal terbakar di awang-awang.
Bersamaku mungkin nanti di suatu masa.
Aku...

handypranowo
220kt14

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun