Hai Rindi.
Engkau terlalu lama berdiam diri hanya untuk mengenang sebuah peristiwa di masa lampau.
Bunga mawar, musim hujan, bangku taman serta ujung gang pertemuan.
Bukankah semua itu hal yang biasa, sama seperti yang sebelumnya kamu rasa.
Aku tak yakin kalau kamu benar-benar jatuh cinta kepada lelaki yang katamu sering datang di ujung malam, mempunyai mata bundar mirip rembulan dan aroma tubuhnya laksana kemuning mekar di musim hujan.
Bukankah pernah kamu bilang cinta itu datang dan pergi, seperti angin membawa remah-remah hatimu di musim yang lain yang pernah kamu lewati. Lalu untuk apa kamu mengurung diri, membiarkan dadamu sesak, membiarkan air matamu terus mengalir, menjadi rangkaian puisi, menjadi cerita di dalam buku diari, hingga meresap ke dalam hati dan tak mampu lagi kamu menolak, lelaki itu benar-benar menghujam dadamu dengan telak.
Pernah kamu kumpulkan seluruh penjuru mata angin, meminta mereka mencari lelaki yang membuatmu menggigil. Namun sial hingga saat ini mereka gagal bahkan aroma tubuh lelaki itu pun menghilang bagai tertelan badai pasir terkubur dalam-dalam.
Siang bagimu seperti malam dan malam bagimu laksana hari menuju kelam.
Gelap tak berpendar cahaya meski bulan dan bintang mengulurkan tangan.
Puing-puing hasrat hatimu tak bisa lagi dibentuk secara wajar dirimu kehilangan keseimbangan.
Sinar matamu redup, kecantikan di wajahmu jatuh tersungkur terantuk rindu dan pilu.
Lelaki yang kamu temui di ujung malam dengan mata rembulan itu bagai menyihir alam sadarmu, kamu tak enak makan, di perutmu ada bagian tubuh lain, terus tumbuh dan tumbuh.
Seperti bunga yang mekar namun kelopak dan warnanya menyimpan misteri.
Kamu bunting Rindi, mengandung mimpi dan kehidupan yang lain.
handypranowo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H