Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Nyanyian Gerhana

12 Agustus 2013   22:15 Diperbarui: 15 Desember 2021   20:46 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kutangku pernah kau lucuti di antara semak-semak seusai kau ajari aku mengaji.

Sebab katamu agar mudah menghapalkan pelajaran agama seorang guru harus dituruti.

Maka kau suruh aku berjongkok dan engkau tetap berdiri.

Waktu itu genap umurku 12 tahun, begitu muda, begitu harum.

 

Oh lihatlah katamu, cahaya bulan menerangi ladang tebu.

Dan malu-malu bayangan kita samar menjauh.

Sesekali burung malam terbang melintas.

Sarung guru gemetar terlepas.


Astaga, ku lihat ubun-ubun mu berasap.

Semakin kencang pula kakimu gemetar.

Seakan gempa menyelinap ke dalam sumsum tulangmu. 

Mulutmu sesekali berucap.

Apakah guru berdzikir?


Tangan mu terus mengusap kepalaku sambil bicara dengan nada yang sengau.

"Engkau memang murid yang pandai, tenanglah ini  baru langkah awal".

"Kelak pasti kau akan serap ilmuku yang paling dalam".

Aku mengangguk tanpa bertanya lagi ku teruskan perintahmu yang bergelora.

Perasaanku tertekan gelisah dosa-dosa.


Suara-suara jangkerik bersahutan beradu dengan nafasmu yang semakin kencang.

Angin tergopoh-gopoh meraba keheningan.

Di ladang tebu yang cukup jauh dari rumah Tuhan.

Jauh dari keramaian, jauh dari mana pun dan kau sebut ini adalah pelepasan ilmu tenaga dalam.


Srek, srek,srek, desir angin menggoyang-goyang daun-daun tebu yang kering.

Udara semakin dingin maka sebelum masuk angin lebih baik aku tanyakan kembali kepada guru.

Untuk apa semua ini mengapa harus seperti ini, bukankah engkau guru agama.

Taat perintah Tuhan dan takut dosa-dosa.


"Sampai kapan ilmu-ilmu itu bisa kuserap dan bisa ku baktikan pada masyarakat".

"Sepertinya yang pernah kamu bilang kepada yang lainnya".


Sebentar ia menarik nafasnya dalam-dalam.

Dengan tenang sambil membuka mata guruku berbicara.


"Ohh tunggu saja itu nanti pasti terjadi tapi sekarang teruskanlah dulu apa yang ku minta biar tuntas segalanya".


Angin semakin kencang menggoyang keheningan.

Cahaya bulan diam-diam redup di bias awan.

Suara jangkerik tidak berhenti terus bersahutan.

Bayangan kita melebar ke ujung-ujung dahan sambil terus berjongkok dan guru berdiri, aku ketiduran.


Handy Pranowo

 

 

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun