[caption id="attachment_391015" align="aligncenter" width="580" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Jimmy Liang/kfk.kompas.com)"][/caption]
Aku temukan kebisingan yang larut di benakmu. Kebisingan yang entah apa bermula terpojok di lekuk kenangan remuk terinjak.
Dirimu berlari jauh, sejauh yang kau mampu seperti jejak waktu mengitari hatimu yang sedang bingung.
Tetapi ingatanmu masih sempurna menghapal setiap baris puisi yang kau buat meski tak ada lagi jiwa tertinggal di dalamnya kecuali pada selaput udara yang menyimpannya menjadi benih hujan.
Kamu diam merenung sesekali menjawab pertanyaan angin yang dihadiahkan oleh langit ketika malam menguak tabir bulan ke dalam matamu yang cekung. Kebisingan itu kembali lagi memekakkan telinga, hati serta pikiranmu. Menjadi jawaban-jawaban setengah matang kemudian dihidangkan di atas meja makan. Tanpa piring tanpa sendok garpu di kiri kanan.
Kamu melahapnya hingga muntah. Muntah yang mengandung kebisingan.
Di luar baru saja awan-awan mendung berkumpul, menari, menyanyi, membuat bising, mengganggu langit, mengganggu dirimu.
Tak lama hujan pun datang tanpa tahu alamat yang dituju meski akhirnya berpulang ke dalam rahim bumi yang kering diperkosa akar.
Kemudian kamu baru sadar di dalam tanah akar tak mengandung kebisingan, akar hanya menjalar pada rongga-rongga tanah yang merah dan hitam, senyap dan hening.
Maka kamu ingin menjadi akar sebab begitu senyap, tanpa kepak, tanpa getaran.
Dan hidup selalu bermula dari akar tanpa kebisingan yang seringkali membuatmu hilang akal.
Lalu merebahlah kamu setelah inginmu keras dan melayang jatuh pada ketinggian.
Gembur tanah yang dingin pelan-pelan menguburmu.
Menguburmu dari kebisingan yang paling dalam.
Aku datang, burung-burung datang, duka-duka bersayap paling hening datang menaburkan bunga yang paling harum tanpa kebisingan di kala mekar.
150115
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H