Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Jalan Menuju Rumahmu

18 Januari 2015   08:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:54 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jalan mana yang mesti ku lewati untuk sampai ke rumahmu yang berpagar kuning bambu.
Aku ingin datang, aku ingin berkunjung ke sana setelah sekian lama waktu berlalu. Jalan tanah yang melintasi kuburan yang kerap kali lengket bila musim hujan sudah terhalang pagar beton. Padahal jalan itu, jalan pintas menuju rumahmu, jalan yang paling sering ku lewati, menyelinap di antara rimbun kamboja dan batu nisan. Lewat jalan itu dapat ku nikmati suguhan nyanyi dan tari burung puter dan kutilang. Aku tak pernah takut baik siang maupun malam di sana tak ada hantu kecuali sepasang muda mudi yang sedang asyik berpacaran sambil bermain gitar.

Akhirnya aku harus memutar melintasi rumah-rumah yang tak tentu rancang bangunannya, padat dan lembab mereka yang tinggal berebut nafas berebut sinar matahari. Jemuran basah dan kering melambai-lambai tanpa harum pewangi. Rumahmu tepat di ujung gang ini, terpojok menyendiri bersebelahan dengan kali. Satu-satunya rumah dengan pagar kuning bambu yang menjadi sarang ular dan biawak. Aku benci lewat jalan ini sebab terlalu sempit dan tak manusiawi, aroma selokan yang mampet mengurung sisa-sisa kotoran menjadi hawa mimpi tidur mereka di malam hari. Tikus-tikus liar dengan tenang sesekali melintas tanpa permisi.

Aku dengar sebentar lagi daerah ini akan di gusur, termasuk juga area kuburan warga sekitar entah di jadikan apartemen atau jalur hijau tergantung yang punya duit, tergantung yang punya kuasa, bebas mereka bertransaksi.
Matahari kian merendah menerobos lewat sisi jalan dan rumah-rumah seng tanpa halangan, tanpa menutup hidung dan telinga. Aku kian gusar sebab tak ingin telat sampai di rumahmu, ada yang mesti kusampaikan kepadamu, maka kali ini aku terpaksa memutar lebih jauh, lewat jalan raya lalu menyeberangi kali dengan sampan bambu yang kerap kali miring bila di dayung.

Aku bawa bunga kawan, aku bawa fotomu, aku bawa pula sekeranjang impian dan kenangan masa-masa kecil dulu. Masa-masa kita sering berenang di kali pinggir rumahmu yang dulu jernih, masa-masa kita menangkap capung dan belalang di kuburan tempat ayah ibumu bekerja paruh waktu sambil menyulam jaring ikan. Masa-masa kita menggoda banci dan muda-mudi yang pacaran di kuburan dengan boneka cungky yang kita gantung di atas pohon kecapi. Aku ingat, aku ingat semua itu, sama seperti aku mengingat jalan menuju rumahmu. Kamu pernah bilang kepadaku suatu hari nanti kita akan berpisah namun kamu akan merindukan rumahku Ndy, merindukan jalan menuju kesana sebab tak ada tempat lain bagimu menghindar dari pukulan rotan ayahmu kecuali ke dalam rumahku.

Selamat jalan kawan, semoga jalan menuju rumah rumahmu yang lain tak berhambat, lancar dan tenang.

180115

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun