Kota metropolitan seperti Surabaya menjadi makanan lezat bagi para produsen barang dan jasa. Promosi dilakukan secara masif untuk menjaring minat beli calon konsumen yaitu warga Surabaya dari kelas bawah hingga kelas atas dengan menggunakan berbagai metode promosi.
Yang sering dilakukan adalah promosi melalui media cetak pada papan reklame di titik-titik kota Surabaya yang menjadi hot spot mata memandang.
Penggunaan baliho dinilai lebih efektif untuk menggaet daya beli konsumen (Novatania, P.A, 2019). Tata cara penyelengaraan reklame kota Surabaya dan pengaturan titik reklame untuk menunjang estetika kota telah diatur Pemerintah Kota dalam Perda Kota Surabaya Nomor 5 tahun 2019 tentang penyelenggaraan Reklame Bab IV Pasal 11 ayat 3 dan Pasal 12 ayat 1 dan juga Perwali Kota Surabaya Nomor 21 tahun 2018.
Adanya Perda dan Perwali belum juga menjadi pagar yang kokoh membatasi ruang gerak reklame-reklame liar di beberapa titik kota Surabaya. Yang terjadi adalah penumpukan sampah visual hampir di sudut kota dan mengganggu birahi mata saat ingin melihat keindahan kota.
Orgasme mata pun terelakkan, yang ada hanya tampilan-tampilan iklan dikanan, kiri, dan depan mata. Harusnya pagar berupa Perda dan Perwali itu tidak hanya sekedar tulisan saja tetapi menjadi perhatian serius bagi Pemkot dan penyedia jasa reklame.
Promosi bagi pelaku industri adalah suatu keniscayaan. Media cetak menggunakan bahan flexy banner lebih banyak dipilih karena jangka waktu pemakaiannya yang relatif lama, yaitu 3-5 tahun untuk indoor dan 1-2 tahun untuk penggunaan outdoor.
Bagi pelaku industri biaya promosi murah sangat menguntungkan dalam anggaran biaya promosi mereka. Lalu bagaimana dengan banner yang sudah habis masa tayangnya? Dikemanakan limbah banner tersebut?
Bahan dasar flexy banner adalah Polyvinyl chlorida (PVC) yang merupakan  merupakan turunan dari material plastik (Kusuma, A.T, 2019:96).
Sifat plastik ini sulit terdegradasi, butuh waktu 100-500 tahun agar plastik bisa terdekomposisi sempurna. Lingkungan akan tercemar dan berimbas ke masyarakat jika sampah PVC ini dibiarkan saja. Terjadi sedimentasi yang berakibat banjir, kesuburan tanah menjadi berkurang, dan jika dibakar akan menimbulkan gas beracun pada udara. (Karuniastuti,N, 2013:13).
Surabaya menghasilkan 1.800 ton sampah dan 14% didalamnya adalah sampah plastik. Jelas sampah ini menjadi perhatian khusus bagi Pemerintah Kota Surabaya.
Melalui Perwali No.16 tahun 2022 Pemkot Surabaya berikhtiar dalam pengurangan sampah khususnya sampah plastik dengan membatasi penggunaan pemberian kantong belanja plastik pada swalayan, supermarket, hingga pasar tradisional. Itu kan kantong plastik, lalu bagaimana yang tak tersentuh dalam Perwali tersebut seperti limbah banner ini?
Beruntungnya masyarakat kita memiliki jiwa kreatif untuk memanfaatkan limbah menjadi barang yang mempunyai nilai dan fungsi. Banner yang merupakan saudara kembar plastik ini mempuyai karakter tersendiri. Sifatnya yang lentur seperti kain sering kali dibuat beberapa macam kreasi sebagai substitusi bahan fabric pada tas, jaket, topi, dll.
Kreasi-kreasi semacam inilah menjadi solusi untuk melawan sampah visual atas ketidak tanggung jawaban pemilik reklame. Seharusnya Pemerintah skala kota memperhatikan pengrajin yang berupaya membantu Pemkot dalam menanggulangi dampak limbah plastik dan banner ini agar banner tidak lagi menjadi pembunuh dalam senyap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H