Mohon tunggu...
Handy Fernandy
Handy Fernandy Mohon Tunggu... Dosen - Pelaku Industri Kreatif

Dosen Teknik Informatika Universitas Nahdatul Ulama Indonesia (Unusia) Pengurus Yayasan Gerakan Indonesia Sadar Bencana (Graisena)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hablumminallah-Hablumminannas: Kopi sebagai Media

28 April 2019   16:11 Diperbarui: 29 April 2019   16:55 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kholilun Rahman, petani dan juga pengajar di Pondok Pesantren TQ Salsabila, Dukuh Babakan Desa Tuwel Kecamatan Bojong, Tegal, Jawa tengah

Kopi saat ini menjadi salah satu minuman yang rutin dikonsumsi setiap hari. Bahkan dilansir dari Republika setidaknya lebih dari 1,6 miliar cangkir kopi dihabiskan perharinya oleh penduduk di muka bumi.

Meminum kopi sendiri biasanya dilakukan karena kebiasaan atau memang dirasa memiliki manfaat. Di masa lalu, kopi menjadi teman para habaib dan sufi, khusunya yang berdomisili di Yaman---negara yang diklaim sebagai awal mula tradisi minum kopi muncul pada abad ke-14. 

Kopi dianggap sebagai obat mujarab untuk menghilangkan kantuk ketika melaksanakan ibadah malam. Selain itu, kerap dikonsumsi ketika kegiatan Majlis-Majlis Ilmu, ba'da tarawih ataupun Majlis Sholawat dan Hadroh.

Kholilun Rahman, pengajar di Pondok Pesantren TQ Salsabila, Dukuh Babakan Desa Tuwel Kecamatan Bojong, Tegal,  Jawa tengah mengatakan bahwa tak heran bahwa tradisi ngopi merupakan tradisi yang diwariskan oleh para alim ulama ke seluruh dunia.

"Kopi itu kata para ulama memang minumanya para ahli sufi, jadi zaman dulu itu untuk doping mereka untuk ibadah dengan kopi, jadi seperti sholat malam, ibadah malem itu kan butuh energi yang gede apalagi yang belum biasa, pasti ngantuk. Selain kopi, coba minuman apalagi yang bisa bikin melek?" kata pria yang akrab dipanggil Gus Kholil.

"Jadi memang itu basic hubungan kopi dengan agama, jadi mereka itu yang para ahli ibadah malam, orang-orang tasawuf atau sufi, mereka rata-rata merupakan tukang ngopi.

"Awalnya penyebaran kopi itu kan dari sana, awalnya dari Afrika kemudian ketika masa kejayaan imperium Islam di turki  itu kan ada pelabuhan terbesar ada di Yaman namanya Mocha. Kan tau sendiri di sana tempat para habaib, para sufi.

"Dan mengapa kopi itu bernama Arabica, karena berasal dari daerah itu. Jadi dari  orang-orang Arab-lah kopi itu tersebar, dari pelabuhan di sana jadi kopi tersebar ke seluruh dunia," sambungnya.

Pria yang juga merupakan salah satu pendiri Kafe Salkopi yang terletak di kawasan Pondok Pesantren TQ Salsabila mengatakan di daerah tempat ia tinggal penduduknya cenderung lebih suka mengkonsumsi teh, namun tradisi meminum kopi tetap dipertahankan oleh para santri.

Kholilun Rahman, petani dan juga pengajar di Pondok Pesantren TQ Salsabila, Dukuh Babakan Desa Tuwel Kecamatan Bojong, Tegal, Jawa tengah
Kholilun Rahman, petani dan juga pengajar di Pondok Pesantren TQ Salsabila, Dukuh Babakan Desa Tuwel Kecamatan Bojong, Tegal, Jawa tengah

"Untuk kopi di daerah ini tidak terlalu akrab, kalo di sini kita mau mendobrak dari teh. Yang akrab itu sebagian besar justru santri," ungkap Gus Kholil.

"Selain santri, sebenarnya tidak terlalu. Artinya, orang umum yang biasanya nongkrong itu biasanya teh. Nah, makanya santri-santri yang ada sekarang sebenarnya secara tidak langsung mereka sedang mengkampanyekan kopi, tapi tidak sadar. Mereka mengkonsumsi kopi karena kebiasaan dari pesantren," sambungnya.

Gus Kholil juga mengatakan ketika pembukaan kedai kopi miliknya, ia pernah mengundang penduduk sekitar untuk mengkonsumsi kopi, kebanyakan mereka kaget, namun mengapresiasi kopi yang dianggap berbeda dengan kopi sachet yang biasa mereka konsumsi.

"Jadi katakanlah kita bicara global di daerah sini, kopi hanya menduduki 30 persen, itu pun maaf, kopinya kopi sachet, gak ada sama sekali atau bahkan kopi yang asli maksudnya kopi original. Bahkan ketika kita memperkenalkan kopi kita, mereka merasa aneh, kopi kok rasanya kayak gini?" ujar Gus Kholil.

"Waktu kita pertama kali buka salkopi, kita mengundang semua warga untuk mencicipi kopi. Lalu apa yang terjadi besok pagi? Mereka bukan berkomentar negatif, tapi mereka berkomentar positif yang terlalu positif, artinya terlalu positif, mereka berkomentar 'aduh saya gak bisa tidur sampai pagi. Di perut gak ngefek, tapi gak bisa tidur sampe pagi, padahal cuma satu gelas, kopi kok rasanya begini yah?' sambungnya.

Di Indonesia sendiri kopi juga kerap disuguhkan dalam kegiatan saat menerima tamu. Kopi dianggap minuman yang istimewa.

"Dalam kearifan masyarakat lokal yang ketika menerima tamu itu memberikan sesuatu yang terbaik. Sementara kita gak mungkin dong ngasih air putih doang, karena itu hal biasa yang bukan istimewa," imbuh Gus Kholil.

"Maka jadilah kopi. Selain itu, kopi kan bukan minuman yang sekali habis, jadi bisa sambil ngobrol, jadi walau satu gelas kecil, tapi bisa lama," tutupnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun