"Selain santri, sebenarnya tidak terlalu. Artinya, orang umum yang biasanya nongkrong itu biasanya teh. Nah, makanya santri-santri yang ada sekarang sebenarnya secara tidak langsung mereka sedang mengkampanyekan kopi, tapi tidak sadar. Mereka mengkonsumsi kopi karena kebiasaan dari pesantren," sambungnya.
Gus Kholil juga mengatakan ketika pembukaan kedai kopi miliknya, ia pernah mengundang penduduk sekitar untuk mengkonsumsi kopi, kebanyakan mereka kaget, namun mengapresiasi kopi yang dianggap berbeda dengan kopi sachet yang biasa mereka konsumsi.
"Jadi katakanlah kita bicara global di daerah sini, kopi hanya menduduki 30 persen, itu pun maaf, kopinya kopi sachet, gak ada sama sekali atau bahkan kopi yang asli maksudnya kopi original. Bahkan ketika kita memperkenalkan kopi kita, mereka merasa aneh, kopi kok rasanya kayak gini?" ujar Gus Kholil.
"Waktu kita pertama kali buka salkopi, kita mengundang semua warga untuk mencicipi kopi. Lalu apa yang terjadi besok pagi? Mereka bukan berkomentar negatif, tapi mereka berkomentar positif yang terlalu positif, artinya terlalu positif, mereka berkomentar 'aduh saya gak bisa tidur sampai pagi. Di perut gak ngefek, tapi gak bisa tidur sampe pagi, padahal cuma satu gelas, kopi kok rasanya begini yah?' sambungnya.
Di Indonesia sendiri kopi juga kerap disuguhkan dalam kegiatan saat menerima tamu. Kopi dianggap minuman yang istimewa.
"Dalam kearifan masyarakat lokal yang ketika menerima tamu itu memberikan sesuatu yang terbaik. Sementara kita gak mungkin dong ngasih air putih doang, karena itu hal biasa yang bukan istimewa," imbuh Gus Kholil.
"Maka jadilah kopi. Selain itu, kopi kan bukan minuman yang sekali habis, jadi bisa sambil ngobrol, jadi walau satu gelas kecil, tapi bisa lama," tutupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H