Mohon tunggu...
Handy Fernandy
Handy Fernandy Mohon Tunggu... Dosen - Pelaku Industri Kreatif

Dosen Sistem Informasi Universitas Nahdatul Ulama Indonesia (Unusia) Pengurus Yayasan Gerakan Indonesia Sadar Bencana (Graisena)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukan dengan Air Mata

21 Juni 2016   00:06 Diperbarui: 21 Juni 2016   00:36 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: fragamente.blogspot.sg

“Lepaskan aku, digenggam hatimu, tapi bukan dengan air mata”

Begitu katamu, Lia di detik-detik akhir pertemuan kita. Langkahmu yang cepat pada akhirnya dihapus oleh pekatnya malam bahkan jejak kakimu tak lagi tertinggal. Malam itu, kata “kita” nampaknya menjadi kalimat yang boros untuk mendefinisikan hubungan kita yang kini tak lagi mengikat. Meski aku memilih bersikukuh untuk tinggal, kamu tetap memilih pergi. Perpisahan ini telah lama menunggu, tak kan mungkin bagi kita menunda lebih lama lagi.

Nyatanya hingga kini sulit bagiku untuk melepasmu dari ingatan. Mengenang bagi penduduk kota ini adalah sebuah perayaan besar, bahkan sudah menjadi budaya yang tak dapat dipisahkan. Aku masuk ditengah-tengah himpitannya yang mengikat erat. Mengenangmu menjadi bagian di dalamnya.

Konon katanya, kota ku itu dibangun dari genangan air mata para tetua. Sedari dulu, mayoritas penduduknya bekerja sebagai pengepul air mata. Di pagi buta, saat matahari masih malu-malu menampakan sinarnya, para penduduk sudah berbaris rapih dan secara berbondong-bondong menuju sebuah lapangan yang luas di salah satu sudut kota Ini. Masing-masing dari mereka membawa sebuah kantong yang besar untuk memunguti berbagai macam bentuk duka. Mulai dari rasa sakit, kesepian, dongeng patah hati, asmara dalam sunyi, cinta tanpa balas dan lain sebagainya.    

Bila malam, kota ini tak perlu lagi lampu untuk menemani seluruh kegiatan penduduknya. Pasalnya purnama selalu berbentuk sama, bulat telur yang cahayanya mampu menerangi seluruh isi kota. Berbeda dengan kota-kota lain yang bulannya selalu dibagi-bagi, terpotong setengah, atau menghilang. Selain itu ada satu hal yang membuat wisatawan selalu ingin datang berkunjung untuk berwisata ke kota, yakni adanya pelangi abadi yang terletak di ujung pantai di kota.

Yang membuat pelangi tersebut memiliki daya tarik adalah pelangi tersebut tak dapat di foto, sehingga untuk melihatnya kita harus datang berkunjung ke kota yang letaknya di balik samudra luas itu. Dupa-dupa untuk berdoa tersebar di beberapa titik kumpul di pantai tersebut. Orang-orang berkata, pelangi adalah jalur yang dibangun oleh Tuhan sebagai jembatan kembali kepadaNya. Roh orang mati dibawa oleh angin menuju ke pelangi itu. Para ilmuwan terbaik dari berbagi penjuru dunia datang untuk meneliti keanehan yang terjadi pada pelangi tersebut, namun hingga kini belum ada kesimpulan yang mampu mencerahkan.

“Kau tau, keluargaku dipandang hormat oleh para penduduk. Pasalnya, secara turun temurun mampu memproduksi air mata secara konsisten. Saat kota ini dilanda paceklik duka nestapa, kakekku tetap bisa menamburkan benih air mata yang pada akhirnya tumbuh subur dan dapat dipanen. Orang-orang menjuluki kakek dengan sebutan Bapak Air Mata Nasional” ujarku bangga.

“Gombal” balasmu sambil meminum white coffe kesukaanmu.

Aku selalu ingat bagaimana kebiasaan dirimu menikmati kopi, yakni menyisahkan warna merah yang menempel di ujung bibir gelas kaca itu. Bibirmu memang selalu berwarna merah. Suatu hari kamu pernah mengatakan bahwa gincu-lah yang menyelamatkan hidupnya dari kesendirian. Entah apa maksudnya, yang aku tau, sewaktu pertama kali kita bertemu, kamu sudah memakai gincu merah itu. Mungkin bila aku bertanya kepadanya pilih gincu atau kuota internet, tanpa berfikir panjang kamu pasti memilih gincu.

Aku masih ingat bagaimana kamu begitu sabar mendengarkan ceritaku, cerita tentang penduduk kota kelahiranku itu. Aku sendiri entah mengapa begitu lepas bercerita kepadamu, seolah-olah kamu adalah orang-orang terakhir di dunia yang harus kuwariskan seluruh cerita ini agar kelak kisah ini diceritakan secara turun-temurun di kemudian hari. Di mataku, kamu adalah orang yang tak pernah jemu, meskipun ada kalanya aku melihat ada keanehan di balik gerakan alismu begitu aku memulai cerita.

“Kalau kakek kamu Bapak Air Mata Nasional, lantas apa julukan Ayah Ibumu di kotamu, Has?

“Lia, kamu tidak percaya apa yang aku ceritakan?”

“Aku nanya, kok kamu balik nanya?”

“baiklah, iya memang ada julukan yang disematkan kepada kedua orang tuaku”

“Apa-apa? Ayo dong cerita”

“Ayahku dijuluki Lelaki Dilipat Bayangan, lalu ibuku adalah Penari Hujan”

“Wkwkwkwkwkwk”

Harus aku akui, aku cemburu. Kita dilahirkan di kota yang berbeda yang berarti memiliki perbedaan kultur dan budaya. Kotamu selalu dibasahi oleh hujan hingga kaca-kaca di gedung-gedung tinggi, di rumah-rumah penduduk, di kantor urusan agama, di penjara dan setiap tempat yang memiliki kaca selalu berembun.

“Ibuku selalu membuat dongeng dari kaca yang berembun di kamarku sewaktu aku masih kecil” begitu katamu bergantian bercerita. “Dengan jari-jarinya, Ibuku selalu mengisahkan tentang bintang-bintang yang menangis karena di tinggal oleh sang rembulan” lanjutmu.

“Kamu pasti iri dengan kota kelahiranku yang selalu dihiasi oleh rembulan” pancingku.

“Sesuatu yang abadi itu menyebalkan, Has kamu tau kalo kehidupan ini fana” balasnya.

“Kamu juga pasti iri dengan keabadian pelangi di kota kelahiranku itu, iya kan Lia?” ujarku tak mau mengalah.

“Tapi kamu tak akan bisa berziarah di bukit kunang-kunang di kotaku kan? ujarnya dengan nada meninggi.

Kamu terdiam, rasanya aku ingin marah dengan diriku sendiri. Membandingkan kotaku dengan kotamu, padahal aku iri dengan kota kelahiranmu. Tak hanya kaca yang berembun, tetapi juga karena bukit kunang-kunang yang menjadi alasannya.

Ada semacam larangan warga di kotaku untuk berkunjung ke bukit kunang-kunang. Jangankan berkunjung, berbicara tentang bukit tersebut adalah hal tabu dan bisa-bisa dianggap sebagai bentuk pelanggaran adat. Bila ada penduduk di kotaku yang pergi ke tempat itu tak pernah bisa kembali. Kalo pun ada yang berani kembali dari tempat itu, niscaya ia dikucilkan dari pergaulan di lingkungan kota, kehilangan mata pencaharian, dan ditinggalkan orang-orang terkasihnya.  Ada yang bilang ia dikutuk oleh kunang-kunang. Penduduk kotaku ditakuti oleh cerita-cerita seram tentang bukit itu, hingga tak ada yang pernah mau menceritakannya dan kalau pun ada adalah hal-hal yang berbanding terbalik dengan apa yang diceritakan oleh ibuku.

Dahulu saat aku masih kecil, ibuku—yang  berasal dari kota yang sama dengan Lia—mengatakan bahwa bukit kunang-kunang adalah tempat yang paling indah di kota kelahirannya. Ada bunga lily, ada pohon cemara, ada gemerisik angin yang membelai padang ilalang nan luas, dan tentunya kunang-kunang yang muncul setiap malam. Namun ada suatu hal yang menyedihkan namun tak pernah kudengar dari orang lain, yakni tentang kematian.

“Dahulu adalah sepasang kekasih yang tengah jatuh cinta, mereka selalu menghabiskan waktu di bukit itu. Namun suatu ketika sang perempuan yang notabene penduduk dari kota ibu itu mati. Warga kota menyalahkan si laki-laki—yang lahir di kota yang sama dengan ayahmu. Sang laki-laki itu pun dihantui oleh duka mendalam. Ia pun menangis hingga lemas. Air matanya habis, dan akhirnya mati tenggelam dalam banjir kenangan. Sejak itulah bukit tersebut dihiasi kunang-kunang. Itulah cinta Hasna. Cinta membuat segalanya indah, meski harus dibangun dari kesedihan” ujar ibu.

Hal ini pun senada dengan ceritamu, Lia. Katamu bukit kunang-kunang selalu menjadi sebuah tempat yang wajib untuk disinggahi oleh warga kotamu. Tempat tersebut menjadi monumen yang sempurna untuk mengenang percintaan. Ada pengorbanan, ada tragedi, ada ketegaran tersaji di dalam tempat tersebut. Sedari kecil penduduk kota sudah  didoktrin untuk merayakan kegetiran. Menyiasati diri untuk segera melupakan semua sedih, semua duka, semua rindu. Tak ada cara lain selain melupakan dan menghilangkan apa-apa yang sudah dilewati selama ini. Mungkin kamu bersembunyi di sana dan aku tak mungkin bisa kesana.

Perpisahan ini, duka ini, jujur saja sudah membuat kantong yang aku bawa hari ini terisi penuh olehmu tanpa harus aku mencari-cari lagi. Kota ini selamat, kehidupan berlanjut tanpamu walau bukan dengan air mata.

@handyfernandy 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun