Aparatur Sipil Negara terdiri dari dua kategori: pertama, Pegawai Negeri Sipil (PNS), kedua, non PNS yang saat ini disebut Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K).Â
Pada tahapan tertentu untuk pegawai dengan tugas pokok fungsi (tupoksi) tertentu mewajibkan ketercukupan ilmu sehingga kerap kali akan berdampak perlunya meningkatkan kualitas SDM dengan cara melanjutkan studi tingkat doktoral. Alternatif mekanismenya saat ini adalah melalui tugas belajar dan ijin belajar.
Lantas apa beda konsekuensi diantara dua mekanisme tersebut? Tugas Belajar adalah studi tersebut merupakan penugasan yang diberikan oleh pejabat berwenang di instansi pemerintah kepada PNS untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi atau setara, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.Â
Mengutip penjelasan dari pemateri dalam acara "Pembekalan Persiapan Studi Penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia Kemendikbusristek" yang diselenggarakan Senin, 4 Oktober 2021, maka "Tugas belajar itu atas biaya dari negara PBN atau non APBN dan ASN yang mendapat tugas belajar itu dinonaktifkan dulu dari pekerjaannya untuk sepenuhnya menyelesaikan belajar tersebut.Â
Konsekuensi dinonaktifkan di sejumlah instansi (setidaknya disalah satu instansi seperti yang saya alami sendiri, berdampak cukup signifikan melebihi jumlah pembiayaan tugas belajar yang saya terima).
Sementara, ijin belajar itu atas dibiayai sendiri oleh ASN yang bersangkutan dan tidak bisa meninggalkan pekerjaannya sebagai ASN. Konsekuensinya satu sisi harus mampu membagi antara melaksanakan tugas sebaik-baiknya untuk dua bidang sekaligus, yaitu tugas studi dan kedua tugas sebagai pegawai.Â
Namun tentu saja seluruh hak keuangan akan tetap sama seperti sebelumnya dan itu sangat membantu. Belum lagi jika ASN tersebut memiliki penugasan tertentu seperti peneliti, justru pelaksanaan studi semakin ringan baik dari sisi biaya maupun waktu serta peluang karena bisa dilekatkan dengan pelaksana tugas sebagai ASN sekaligus untuk menyelesaikan tugas akhir studi.
Studi program doktoral jauh berbeda tingkat kesulitannya bila dibandingkan dengan studi strata magister (S2). Hal tersebut karena program doktoral menuntut kita mampu memahami berbagai macam perspektif ilmu dan dahsyatnya kita diwajibkan pula untuk mampu menemukan teori atau setidaknya konsep baru yang tentu saja diharapkan bermanfaat untuk perkembangan ilmu dan untuk empiris praktis.Â
Berdasarkan pengamatan ternyata yang mampu menyelesaikan studi S3 dalam tempo luar biasa cepat dan cumlaude 3 (tiga) tahun adalah mereka yang benar-benar beruntung dan memiliki back-up baik dari sisi kehidupan sehari-hari maupun dalam rangka studi.Â
Selebihnya berkisar antara empat tahun sangat cepat dan beruntung, lima -- enam tahun, dan tujuh tahun pun banyak yang mengalami padahal mereka juga cerdas.
Berbeda dengan saat kita studi S1, S2, mayoritas diantara kita yang bisa studi S3 disaat sudah memiliki berbagai tanggungjawab sebagai suami/istri, ayah/ibu.Â