Mohon tunggu...
handrini
handrini Mohon Tunggu... Lainnya - Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional

world are wide, but there's only small spot to make a mistake, Be wise, get grow, so can mature at the same time. be wise it's not easy eithout make wisely as a habit

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

PPDB Prioritas Usia, Pil Pahit bagi Anak yang Rajin Belajar

23 Juni 2020   14:05 Diperbarui: 26 Juni 2020   15:38 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang siswa berkonsultasi dengan pihak guru SMA 2 Tegal, Jawa Tengah akibat server PPDB online eror di hari pertama, Rabu (17/6/2020)(KOMPAS.com/Tresno Setiadi)

Dua hari yang lalu, saya kaget melihat putri kedua kami tidak seperti biasanya. Laksana seorang yang habis kalah berperang, putri kami tampak lesu dan terlihat begitu kecewa. Putri kedua kami bersifat introvert, jadi sebagai ibu harus ekstra hati-hati menanyakan penyebabnya.

Tak cukup hanya ditanya biasa, melainkan harus sembari dipeluk dan sangat berhati-hati bertanya. Jawabannya seperti biasa, tidak ada masalah apa-apa. Hanya selang beberapa jam kemudian, saya mendapatkan jawabannya di WA group orangtua murid dan wali kelas.

Wali kelas putri saya memang memiliki dedikasi yang handal. Tak hanya menjadi guru teladan bidang studi matematika, tapi juga sangat rajin menginformasikan berbagai hal. Kali ini menginformasikan tentang pengumuman PPDB SMA afirmasi di Provinsi DKI Jakarta Periode 2020/2021 (KJP).

Pemberian informasi itu pun langsung banjir tanggapan kekhawatiran dari orangtua dan kisah sedih dari orangtua murid penerima KJP yang harus rela anaknya terdepak karena usianya tergolong muda.

Sedihnya, orangtua murid penerima KJP tersebut jelas tidak memiliki back up dana untuk masuk di SMA swasta.

Para orangtua penerima KJP yang kebetulan siswa-siswi muda usianya itupun menyampaikan alternatif terburuknya, terpaksa anak-anak itu beristirahat setahun di rumah, menunggu usia mencukupi karena memang tidak ada dana untuk masuk ke SMA swata.

Ironis, bagi siswa/i SMP Negeri yang memiliki nilai akreditasi yang sangat baik di bilangan Jakarta Barat tersebut. Padahal biasanya, sudah jadi tradisi, siswa/i SMP tersebut "bedol desa" ke SMA yang letaknya bersebelahan dengan SMP tersebut. 

SMA Negeri itu biasanya mendapatkan pagu SNMPTN terbanyak di Jakarta Barat. Setidaknya saya sebagai Ibu pun tahu permasalahan besar apa yang tengah dipikirkan putri kami.

Sebelumnya, dia juga harus menelan pil pahit kebijakan ketika Ujian Nasional dibatalkan. Meski dalam konteks hubungan ibu dan anak, tentunya saya hanya mampu menghibur dan mengingatkan bahwa ikhtiar si anak belajar itulah yang dinilai sebagai ibadah, bukan hasil akhirnya.

Namun tak dapat disangkal, putri kami yang rajin belajar ini terpaksa harus menelan pil pahit kedua, akibat kebijakan PPDB DKI Jakarta yang lebih memilih memprioritaskan usia.

Calon pelajar Sekolah Dasar (SD) memperlihatkan formulir PPDB sesuai zona saat mendaftar ulang di SD Negeri 1 Banda Aceh, Aceh, Selasa (9/6/2020). Pemerintah telah menyiapkan tatacara penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun ajaran 2020/2021 untuk jenjang TK, SD, SMP dan SMA baik secara online maupun langsung dengan menerapkan protokol kesehatan sebagai upaya mencegah penyebaran COVID-19.(ANTARA FOTO/IRWANSYAH PUTRA)
Calon pelajar Sekolah Dasar (SD) memperlihatkan formulir PPDB sesuai zona saat mendaftar ulang di SD Negeri 1 Banda Aceh, Aceh, Selasa (9/6/2020). Pemerintah telah menyiapkan tatacara penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun ajaran 2020/2021 untuk jenjang TK, SD, SMP dan SMA baik secara online maupun langsung dengan menerapkan protokol kesehatan sebagai upaya mencegah penyebaran COVID-19.(ANTARA FOTO/IRWANSYAH PUTRA)
Sebagai catatan, putri saya sebenarnya tidak terlalu pintar. Hasil IQ setidaknya menunjukkan demikian, hanya saja sangat rajin belajar. Bahkan sering menolak diajak jalan karena ingin belajar.

Dia dan teman-temannya sering berkumpul bersama satu kelas untuk belajar bersama agar memperoleh nilai di atas 8 secara bersama-sama. Bahkan putri saya juga bersedia mengajari teman-temannya yang nilainya kurang memuaskan. 

Kerja sama untuk saling membantu dalam belajar untuk mendapatkan nilai yang mencukupi agar dapat memasuki SMA sesuai impian mereka bersama, mengingat saat masuk ke SMP tersebut berdasarkan nilai. Jadilah mereka kini harus berlega hati dan bersabar bahwa hasil jerih payah mereka belajar harus tunduk pada senioritas usia sebagai jawaranya.

Tidak pernah menyangka, hasil jerih payah belajar putri kedua kami demi masuk SMA yang dicita-citakan terancam terpentok usianya yang terlalu muda.

Tak hanya itu, berdasarkan pagu zonasi dan pengumuman hasil PPDB DKI Jakarta Jalur afirmasi (KJP) bisa terancam tidak bisa masuk SMA Negeri.

Prestasi tak lagi jaminan bisa dapat masuk di SMA yang diimpikan. Peraturan tak lagi hanya zonasi, melainkan usia yang utama. Prestasi nomor sekian. Ah, ya sudahlah prestasi tak lagi menjadi sesuatu hal yang penting, melainkan usia. Paham sih maksudnya untuk pemerataan kualitas sekolah. Semoga peraturan ini diikuti peraturan SNMPTN yang direvisi ya. Jangan lagi digolongkan berdasarkan ranking sekolahnya.

Semoga aturan SNMPTN segera diperbaharui bahwa tak ada lagi perhitungan berdasarkan akreditasi SMA. Selamat memasuk periode sistem pendidikan "yang penting happy" hehe..

Seorang sahabat yang kini bermukim di UK berkisah, jika dii UK dulu banyak grammar schools, yang masuknya dites ETC jadi lebih competitive.

Tapi sejak 1960-an, pemerintah memutuskan bahwa anak-anak harus bisa diterima di sekolah mana saja (captured area, mungkin sejenis zonasi ini) dan diajar ilmu yang sama, maka muncul comprehensive schools.

Dalam comprehensive schools, siapa saja bisa masuk, tidak berdasarkan kemampuan. Grammar schools makin sedikit. "Makanya di sini kurang competitive menurutku, anak-anak belum sekolah sing penting happy", begitu terang sahabat saya.

Sekali lagi ini adalah konteks kebijakan. Bukan ranah privat tentang bagaimana kita menanamkan belajar sebagai sebuah ibadah dan hal lainnya.

Khusus untuk tahun ini PPDB DKI Jakarta melalui Permen Diknas 44/2019, dipertegas dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Nomor 501 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis PPDB Tahun Pelajaran 2020/2021 menjadikan usia sebagai penentu, bukan nilai rapor.

Seolah menihilkan arti di balik nilai tersebut ada perjuangan anak-anak untuk belajar dan meraih nilai yang bagus. Tujuan dari kebijakan ini apa? Worth it ga ya dengan apa yang harus dikorbankan?

Dengan kebijakan baru penerimaan SMP dan SMA Negeri berdasarkan umur memang ada positif dan negatifnya. Positifnya anak-anak yang memiliki nilai kurang bisa menikmati fasilitas SMP/SMA Negeri. Berbagai macam bimbingan belajar juga tidak ada artinya.

Tapi ternyata, banyak anak-anak kurang mampu penerima KJP yang rajin belajar pun jadi terancam tidak bisa melanjutkan sekolah. Melanjutkan belajar di sekolah swasta pun jelas mereka tidak ada biaya.

Belum lagi ketentuan SNMPTN yang belum berubah. Hingga saat ini akreditasi SMA masih menjadi salah satu faktor penentu bagi lolos tidaknya SNMPTN.

Dalam konteks seorang Ibu, saya bukanlah tergolong pengejar sekolah yang bonafit atau favorit. Kedua putri kami pun, kami sekolahkan di SD Negeri yang tergolong paling bawah hingga akhirnya putri kedua kami dan puteri ketiga kami dapat membantu menaikan nilai akreditasi dengan perolehan nilai yang memuaskan.

Begitupun dengan putri kami yang sedikit kami paksa sekolah di SMA yang bukan nomor satu di zonasi wilayah tempat tinggal kami. Alhasil SNMPTN Putri kami pun gagal. Meski tetap pada akhirnya berhasil masuk ke jurusan dan Perguruan Tinggi Negeri yang diharapkan melalui jalur SBMPTN.

Sebagai seorang Ibu, saya hanya bisa memeluk putri saya sembari berkata, "Inilah kehidupan Nak." Di sisi lain, menyadari usia putri saya yang muda, tampaknya harus siap menghadapi segala kemungkinan terburuk akibat kebijakan baru ini.

Lantas bagaimana nasibnya dengan para penerima KJP yang muda usia namun memiliki nilai bagus (Sekali lagi di balik nilai bagus itu ada jerih payah anak yang sangat luar biasa)? Orangtua mereka jelas tidak memiliki candangan dana untuk sekolah di swasta.

Haruskah mereka putus sekolah hanya karena faktor usia? Apakah ini sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 berbunyi "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan". Dan Pasal 31 Ayat 2 UUD 1945 berbunyi "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya".

Kebijakan PPDB DKI Jakarta yang memprioritaskan usia, berdasarkan Pengumuman PPDB SMA afirmasi di Provinsi DKI Jakarta Periode 2020/2021 (KJP) jelas menunjukkan terdepaknya anak-anak yang rajin belajar dari kelompok penerima KJP harus menelan pil pahit. 

Anak-anak penerima KJP berprestasi yang kebetulan muda usia, terancam putus sekolah karena ketiadaan biaya untuk melanjutkan ke sekolah swasta. 

Tampaknya, kebijakan ini perlu dipikirkan kembali. Dibutuhkan kebijakan yang tepat mengingat pendidikan adalah investasi masa depan bangsa. Bila tidak? Ya maka hanya ingin mengucapkan selamat datang di dunia pendidikan “yang penting happpyyyy…. “

Welcome to the mediocrity world.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun